Kamis 02 Apr 2020 07:49 WIB

Recovery Bond dan Dua Ancaman Ekonomi

Recovery bond akan diterbitkan pemerintah di tengah pelebaran defisit APBN

Pemerintahan Presiden Joko Widodo menyiapkan 9 jurus untuk mencegah perlambatan ekonomi nasional di tengah merebaknya wabah corona atau Covid-19.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Pemerintahan Presiden Joko Widodo menyiapkan 9 jurus untuk mencegah perlambatan ekonomi nasional di tengah merebaknya wabah corona atau Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elba Damhuri

Semua negara yang berada dalam serangan wabah covid-19 mengalami dua ancaman ekonomi serius. Pertama, ancaman ekonomi rumah tangga di mana daya beli melemah, keuangan rumah tangga tergerus, dan ketidakseimbangan antara ketersediaan uang/pendapatan dan beban pengeluaran.

Kedua, ancaman finansial di perusahaan (korporasi) yang terjadi akibat produksi menurun, distribusi anjlok, penjualan jatuh, dan pesanan berkurang drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terelakkan. 

Para pekerja yang tadinya punya penghasilan kini kehilangan pendapatan. Perusahaan pun bermasalah dengan kewajiban mereka di perbankan, yang kemudian ini secara agregat bisa berdampak sistemik terhadap sistem keuangan dan ekonomi nasional.

Neraca keuangan pemerintah ikut kena dampak. Saat siklus ekonomi berada pada titik rendah karena wabah penyakit, pemerintah di banyak negara melakukan pelonggaran-pelonggaran ekonomi atau yang dikenal sebagai stimulus ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan jika pada keadaan buruk maka ekonomi Indonesia pada 2020 bisa kontraksi 0,4 persen. Dalam keadaan biasa, ekonomi hanya tumbuh 2,3 persen atau lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya sebesar 2,5 persen.

Tugas pemerintah adalah menjaga pertumbuhan, menjamin pasokan uang tetap stabil, mengangkat daya beli, mengurangi dampak wabah kepada warga miskin, hingga meyakinkan perusahaan-perusahaan dengan berbagai insentif untuk tidak melakukan PHK massal.

Konsekuensinya, pemerintah harus banyak mengeluarkan uang dan memperlebar jarak defisit anggaran belanjanya (APBN) terhadap produk domestik bruto (PDB) dari ketentuan saat ini. 

Maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan. Salah satu poin penting dari Perppu ini adanya pelebaran defisit APBN atas PDB dari 3 persen menjadi 5,07 persen.

Defisit ini tampak wajar sebetulnya mengingat ada stimulus ekonomi untuk menambah belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. 

Stimulus itu digunakan untuk belanja bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).

Dana tambahan belanja itu juga diperuntukkan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan UMKM, dianggarkan Rp 150 triliun.

Defisit APBN yang diperlebar ini menimbulkan polemik. Pertama, sejumlah ekonom mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengambil kebijakan realokasi anggaran dari proyek-proyek infrastruktur atau bahkan dana pemindahan ibu kota.

Kedua, jika pemerintah andalkan utang sebagai sumber pendanaan defisit APBN yang diperlebar itu, mereka mengingatkan ancaman pelemahan rupiah atas dolar AS dan kenaikan inflasi. Keduanya juga menjadi ancaman serius bagi ekonomi nasional.

Rizal Ramli, mantan menteri keuangan, termasuk yang tidak sepaham dengan pelebaran defisit ini. Rizal Ramli menilai pemerintah seharusnya melakukan realokasi anggaran secara radikal daripada melebarkan defisit.

Realokasi anggaran itu menghentikan sementara semua proyek-proyek infrastruktur, termasuk pemindahan ibu kota baru. Anggarannya dipakai untuk belanja dampak covid-19.

Rizal Ramli melihat pelebaran defisit ini hanya akan menambah utang sebagai pembiayaannya kemudian. Cetak utang dengan bungkus recovery bond, kata dia, nilai rupiah akan semakin jatuh.

Ekonom M Chatib Basri memiliki masukan bagus bagi pemerintah. Chatib dalam memuji Pemerintah Indonesia yang telah menetapkan stimulus ekonomi guna meredam dampak pandemi virus corona.

Chatib menyarankan agar pemerintah melakukan kombinasi pembiayaan dari pasar domestik, internasional, dan juga multilateral untuk mengatasi problem defisit anggaran.

The show must go on. Pemerintah akan menerbitkan surat utang baru yang disebut recovery bond atau surat utang pemulihan bencana.

Jadi, recovery bond ini nanti diterbitkan dalam bentuk rupiah dan dibeli oleh Bank Indonesia, BUMN-BUMN, perusahan dan lembaga swasta, hingga eksportir dan importir. 

Uangnya nanti masuk ke pemerintah dan dijadikan kredit khusus dengan bunga rendah kepada perusahaan-perusahaan yang kesulitan likuiditas. Syarat yang diberikan ke perusahaan-perusahaan yang ingin ambil kredit khusus ini tidak ringan.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menyebut syarat tidak boleh ada PHK kepada perusahaan yang minat kredit khusus ini. Atau, jika ada PHK pun tetap harus menjaga 90 persen karyawan yang ada dengan gaji dan tunjangan yang tidak berubah.

Perusahaan yang diutamakan adalah mereka yang terkena dampak wabah covid-19. Setidaknya, ada empat sektor yang paling merasakan dampak penyebaran virus corona ini, yakni manufaktur, keuangan, transportasi, dan akomodasi.

Kredit khusus dari revocery bond nanti ini memang bertujuan untuk menahan gelombang PHK di sejumlah sektor industri akibat pandemi corona. Beberapa industri malah sudah mengumumkan melakukan PHK karyawannya seperti perhotelan, tekstil, dan ritel.

Sekilas recovery bond ini mirip bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini masih jalan kewajiban pembayarannya. BLBI polanya sama, bank sentral memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank.

Karena prosesnya yang tidak transparan di mana uang negara keluar sampai Rp 144 triliun, drama BLBI pun meledak. Sampai saat ini kasus BLBI masih mencuat dan kerap dijadikan komoditas politik.

Mampukah recovery bond ini mencapai tujuannya seperti diharapkan pemerintah? Recovery bond ini memiliki efek langsung dan tak langsung. 

Efek langsung terkait langsung dengan perusahaan-perusahaan yang mendapat kredit khusus. Setidaknya, untuk jangka pendek-menengah persoalan keuangan mereka bisa diatasi.

Efek tidak langsung terkait dengan neraca keuangan rumah tangga dan individu. Jika perusahaan punya duit dan tidak PHK, tentu keuangan rumah tangga pun bisa terjaga.

Efek tidak langsung lainnya terkait dengan kepercayaan investor dan publik terhadap daya tahan ekonomi Indonesia. 

Ketika recovery bond digulirkan dengan banyak peminat bahkan sampai kelebihan pesan (oversubscriber) maka ini menjadi pertanda bagus bagi ekonomi nasional.

Dalam pelaksanaannya tentu tidak mudah untuk mendapatkan kredit khusus ini. Bayang-bayang kasus BLBI membuat pemerintah harus ekstra keras prudent mengucurkan kredit khusus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement