REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ahli epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat, Defriman Djafri PhD menjelaskan bahwa rapid test atau tes cepat tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memastikan seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak. Terlebih, pada dasarnya kit test cepat tidak rekomendasikan oleh WHO.
"(Pemanfaatannya) Itu harus hati-hati betul," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Defriman menjelaskan, tes cepat itu lebih kepada pemeriksaan antibodi saja, bukan polymerase chain reaction (PCR). Dikhawatirkan, setelah orang menjalani rapid test dan hasilnya negatif, mereka merasa sudah aman padahal belum tentu.
"Itu banyak terjadi. Di Bogor, Jawa Barat ada laporan seperti itu, ketika hasilnya tes cepatnya negatif, tapi pas PCR dia positif," ujarnya.
Kondisi demikian perlu dipahami pemerintah dan masyarakat luas agar tidak menjadikan tes cepat sebagai patokan seseorang terjangkit Covid-19 atau tidak. Sebab, masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut sebelum betul-betul dinyatakan negatif.
Defriman menyarankan akan lebih baik masyarakat melakukan isolasi meskipun negatif Covid-19 setelah menjalani tes cepat. Itu akan lebih baik daripada membiarkannya berinteraksi bebas, tetapi belakangan diketahui positif Covid-19.
"Lebih baik dia kita isolasi dulu daripada orang yang awalnya dikatakan negatif ini tetapi ternyata kemudian positif," ujar dia.
Meskipun demikian, tes cepat tersebut tetap bisa dijadikan sebagai skrining awal Covid-19. Bagi yang telah melakukan tes cepat, menurut Defriman, tetap harus melaksanakan tes lainnya guna memastikan kondisi.
"Standar revisi mengenai pengendalian infeksi orang tanpa gejala juga mengharuskan mereka menjalani tes PCR pada hari pertama dan diikuti hari ke-14," kata Defriman.