REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Nasional Gabungan Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono mengimbau kalangan pengendara ojek daring (online) di Jabodetabek mewaspadai order fiktif selama penutupan fitur angkut penumpang. Pemesanan fiktif kerap merugikan driver ojek daring.
"Saat ini tidak semua driver ojol punya modal (untuk jasa pemesanan makanan). Apalagi saat ini rawan orderan fiktif," katanya di Jakarta, Jumat (10/4).
Fitur layanan antar penumpang di berbagai aplikasi ojek online telah ditutup sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan otoritas terkait, Jumat. Situasi itu, kata Igun, berimbas pada beralihnya mata pencarian pengendara ojol ke jasa pemesanan barang atau makanan yang tersedia di aplikasi layanan.
Peristiwa pemesanan fiktif kerap dialami sejumlah pengendara ojol di Jabodetabek dengan kerugian materi puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Igun mengatakan pendapatan pengendara ojol saat ini lebih dominan bersumber dari antar jemput penumpang.
"Pendapatan ojol terbesar itu bukan dari order makanan atau barang, tapi dari penumpang. Bisa sampai 70-80 persen," katanya.
Seorang pengendara Gojek di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Dimas Kumara (30) pernah mengalami peristiwa pemesanan makanan fiktif. Saat itu ia tertipu sampai Rp 196 ribu untuk memesan makanan di restoran.
"Tiba-tiba pemesannya hilang begitu saja," katanya.
Namun perusahaan pada saat itu, kata dia, mengganti kerugian pengendara sesuai dengan nominal pemesanan konsumen. Syaratnya, ia harus membawa makanan itu ke panti asuhan atau lembaga sosial lainnya.
"Terus difoto. Jadi seakan-akan perusahaan berdonasi ke orang-orang yang butuh," katanya.
Setelah barang pesanan diserahkan kepada pengelola yayasan sosial, kata Dimas, foto tersebut dikirim ke perusahaan sebagai bukti penyerahan bantuan. "Paling dua atau tiga hari uangnya diganti. Tapi memang prosedurnya cukup rumit," katanya.