REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller
“Bantu share ya, Jeng,” demikian pesan yang saya terima melalui WA. Isinya adalah daftar warteg se-Jabodetabek yang menyediakan makan gratis untuk mereka yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi ini.
Program ini diinisiasi oleh sebuah Lembaga Amil Zakat yang banyak membuat program-program kreatif dalam menyalurkan zakat-infak-sedekah dari para muzaki. Setidaknya ada 1.000 warteg yang berpartisipasi.
MasyaAllah. Luar biasa solidaritas umat dalam menyikapi kondisi sulit ini. Berbondong-bondong masyarakatnya secara swadaya mencoba meringankan beban sesama.
Banyak masjid dan kelompok kajian yang mulai mendistribusikan bantuan pada masyarakat sekitar. Ada juga gerakan #BantuTetangga yang viral di media sosial yang dimotori para ustadz ternama.
Beberapa komunitas di kompleks perumahan mulai ada yang membuka dapur umum dan membagikan nasi bungkus untuk mereka yang membutuhkan.
****
Tak hanya di Indonesia, solidaritas semacam ini juga terlihat di beberapa negara. Seperti video yang belum lama viral tentang masyarakat Turki yang meletakkan paket-paket makanan di pinggir jalan untuk siapa saja yang membutuhkan.
Padahal, Pemerintah Turki juga telah menyiapkan paket stimulus ekonomi senilai 100 miliar lira Turki atau sekitar 15,4 miliar dolar AS. Yang menjamin warganya tak akan kelaparan. Bahkan, kebaikan hati ini tak hanya untuk warga negaranya, Turki juga mengulurkan bantuan untuk negara-negara tetangganya.
Seperti kerja sama dengan Bulan Sabit Merah Azerbaijan yang memberikan bantuan untuk 2.000 keluarga terdampak pandemi. Bantuan ini diberikan pada keluarga berpenghasilan rendah dan lansia yang berusia di atas 65 tahun. Isi bantuannya berupa tepung gandum, gula, garam, pasta, lentil, deterjen, dan cairan disinfektan.
Kalau masyarakat Turki begitu murah hati, tak perlu heran lagi. Dalam sejarahnya, saat Daulah Utsmani (Ottoman) masih memimpin negeri itu, mereka mempunyai tradisi yang masih lestari hingga kini.
Namanya askıda ekmek. Secara harafiah artinya roti dikait. Ini adalah tradisi membeli roti, tapi hanya mengambil separuh dari yang dibayarkan dan membagikan setengahnya untuk siapa saja yang membutuhkan.
Misalnya kita membeli empat potong roti, tapi hanya dua yang diambil. Dua lagi “dititipkan” di keranjang yang digantung di depan toko roti. Roti di dalam keranjang ini boleh diambil siapa saja yang membutuhkan.
Bila ada yang datang dan mengatakan, “Askıda ekmek var mi--Adakah roti dikait?” penjual akan mengambilkannya secara gratis.
Menariknya, mereka yang membutuhkan juga tidak “rakus”. Semisal penjualnya memberi dua potong, tapi ia merasa cukup dengan satu potong roti, maka akan dikembalikannya disertai ucapan, “Ini cukup untukku. Bagikan pada yang lain.”
Mereka yang sering membutuhkan, setelah berdaya secara ekonomi ganti akan mengisi keranjang roti. Begitu terus, hingga tak ada yang kelaparan lagi.
Tradisi ini masih berlanjut hingga kini di beberapa tempat. Saya sempat menyaksikannya di salah satu toko roti yang sudah berusia seratusan tahun di sekitar Masjid Eyup Sultan, Istanbul.
Dulu sewaktu saya kecil, ada tradisi yang bernama beras jumputan. Masing-masing keluarga memberikan sejumput beras lalu dikumpulkan dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Entah masih ada atau tidak sekarang.
Alangkah indahnya konsep Islam tentang persaudaraan. “Tidaklah mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.” [Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (112).