REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany
Terlahir sebagai agama kemanusiaan, Islam betul-betul meletakkan sendi-sendi hubungan sesama dengan begitu serasi dan harmonis dalam Alqur’an. Berulang kali kata-kata shilah (sambung-menyambung) -arrahim (kasih sayang) terulang dalam Alqur’an untuk mengingatkan kita semua bahwa menyambung kasih sayang terhadap saudara, keluarga jauh, teman, kerabat sangat penting— bukan hanya ingin memperbanyak kawan, namun menyambung ikatan ini adalah pesan sosial yang langsung disebut dan diperintahkan dalam Alqur’an salah satunya dalam surah, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk,” (Qs. ar-Ra’du13: 21)
Qs. ar-Ra’du13: 21 di atas sejalan dan masih terkait dengan ayat sebelumnya yakni ayat 19-20 mengenai deskripsi sifat-sifat Ulul Albab yang memiliki beberapa sifat yaitu, pertama, memenuhi janji (ketika ia berjanji kepada sesama). Kedua, tidak merusak perjanjian (yang sudah disepakati). Ketiga, seperti yang disifati pada ayat di atas yaitu orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (hubungan kekerabatan) dan cirri terakhir yaitu keempat, Ulul Albab ialah mereka yang takut kepada Allah akan hisab (perhitungan amal) yang buruk di hari kiamat),
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,” (Qs. ar-Ra’du 13: 19-20).
Beberapa sifat kebaikan yang dimiliki pribadi Ulul Albab tersebut di atas, menurut Ibnu Katsir menjadi pembeda dengan sifat orang-orang fasiq di surat al-Baqarah 2: 27 yang berbicara tentang sebaliknya, yaitu mereka yang pertama, melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. Kedua, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan dan ketiga, membuat kerusakan di muka bumi.
Ayat di atas tidak menyebut istilah silaturahim secara tekstual atau eksplisit, sebab demikian, tidak ada ayat Alqur’an yang menyebut langsung dengan sharih (jelas) istilah lafadz ‘silaturahim’ ini. Namun ayat tersebut di atas dan ayat-ayat silaturahim yang lain hanya menyebut karakteristik secara umum ‘menghubungkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan’. Sehingga apa yang harus dihubungkan? menjadi sesuatu yang bersifat umum. Meskipun mayoritas para mufassir seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir merujuk kepada makna menghubungkan tali silaturahim.
Disini kata ما yang menunjukkan makna umum dalam ayat silaturahim mengisyaratkan luasnya cakupan silaturahim yang tidak dibatasi dengan bentuk tertentu dari upaya menghubungkan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Demikian juga larangan memutuskan silaturahim menggunakan ‘ما’ yang mengisyaratkan makna semua jenis perbuatan yang dapat dikategorikan memutuskan silaturahim— apapun bentuknya— seperti yang disebut di surat al-Baqarah: 27 dan surat ar-Ra’d: 25.
Dalam pandangan Imam Qurthubi, silaturahim dapat dibagi menjadi dua kategori; silaturahim umum dalam ikatan agama seperti saling menasehati, menunaikan hak-hak yang wajib dan sunnah antar orang-orang beriman. Kedua, silaturahim khusus antar mereka yang ada ikatan nasab dan kekerabatan. Namun kedua jenis silaturahim tersebut tetap harus dipenuhi sebagai ketentuan dan perintah agama. Nah, silaturrahim jenis ketiga, sebagai tambahan juga kepada sesama makhluk Allah terlepas dari agama yang mereka anut—dalam batas yang wajar.
Nah, diskusi mengenai silaturrahmi di masa pandemi wabah Covid-19 ini, bagaimana semestinya kita menyambung ikatan kasih sayang ini? Mengingat pertemuan fisik diupayakan untuk dikurangi atau bahkan tidak sama sekali guna menekan penyebaran virus yang lebih luas.
Sejatinya, Alqur’an tidak memberikan bentuk yang spesifik terhadap silaturrahim itu sendiri. Setiap manusia diperbolehkan menyambung tali kasih sayang dengan beragam cara sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Bersyukur, teknologi mutakhir bisa dipilih menjadi alternatif untuk mendekatkan hubungan yang telah berjarak dan merekatkan kembali hubungan yang sempat merenggang.
Dengan demikian, silaturrahim via media sosial menjadi pilihan terbaik di masa pandemi ini. Bentuk lainnya? Kita juga bisa saling mengirim makanan, hadiah-hadiah sederhana dan lain sebagainya. Namun, jika belum mampu dalam bentuk materil, tentu kita masih bisa memberikan hadiah terbaik berupa do’a agar saudara, kerabat, teman sejawat yang jauh selalu dalam kondisi sehat lahir batin serta dalam penjagaan-Nya.
Lantas, bagaimana jika kita sudah menjalin silaturrahim namun orang tersebut justru memutuskannya? Menghubungkan silaturrahim walaupun orang lain memutuskannya, juga disabdakan oleh Rasulullah Saw seperti salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ra bahwa seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, saya memiliki kerabat. Saya menyambungkan hubungan kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka memutuskannya. Saya berbuat baik kepada mereka, tapi mereka berbuat buruk pada saya. Saya bersikap santun, tapi mereka bersikap masa bodoh kepada saya. Beliau lalu bersabda, “Jika apa yang kamu katakan itu benar, mereka seolah-olah kehausan lalu kamu tuangkan air ke mulut mereka tiada henti. Selama kamu berbuat demikian kepada mereka, pertolongan Allah senantiasa bersamamu,” (HR. Imam Muslim). masyaAllah.
Allah menjanjikan pertolongan bagi siapa saja hamba-Nya yang sudah berupaya menyatukan ikatan yang sempat rusak; namun tidak mendapatkan respon baik dari kerabat tersebut. Sebab, betapa meruginya orang yang enggan menjalin kasih sayang kepada sesama sebab surga menjauh darinya. Hal ini disampaikan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im ra bahwa Nabi Saw, bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan,” (HR. Imam Muslim)
Dalam hubungan sosial kemanusiaan—memang terkadang tidak selalu baik, akan selalu ada masalah dan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Namun, satu hal yang harus kita yakini; sikap belas kasih, lemah lembut dan memaafkan jauh lebih mulia dan dianjurkan Allah maupun Rasulullah agar tidak hanya kita kelak akan menjadi hamba-Nya yang senantiasa diganjar pahala surga, namun juga ganjaran yang jauh lebih mulia yakni seperti hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala pada hari kiamat berfirman, “Manakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku naungi mereka di bawah naungan-Ku dan tidak ada naungan kecuali naungan-Ku,” (HR. Imam Muslim).
So, Guys.. walau kita harus tetap di rumah aja di masa pandemi ini, jangan membuat kita terkurung dan ansos alias anti-sosial ya! Tetaplah berupaya menyapa kawan atau saudara jauh meski hanya sekedar salam dalam media sosial. Syukur-syukur jika kita mau menyisihkan rezeki untuk saling berbagi rezeki. Semoga saja, kita semua kelak mendapatkan naungan dari Allah di hari kiamat kelak—sebab tiada naungan yang lebih aman, teduh dan penuh perlindungan dari kedahsyatan peristiwa kiamat nanti selain lindungan naungan dari Allah ar-Rahman. Aamiin ya Rabb al-Alamin.