REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai masih padatnya penumpang kereta rel listrik (KRL) di tengah pandemi COVID-19. Permasalahannya bukan pada moda melainkan perusahaan yang belum menjalankan karyawan kerja dari rumah (WFH) harus dicabut izin usahanya.
“Jangan salahkan KRL-nya, yang harus dibersihkan adalah usaha yang masih hidup di DKI, ini sudah emergency state tidak boleh main-main,” kata Agus, Selasa (14/4).
Ia mengaku sudah menyarankan kepada pemerintah daerah agar menghentikan sementara kegiatan kerja di kantor atau yang masih mempekerjakan buruh, terutama di DKI Jakarta setidaknya untuk 14 hari ini.
Menurut Agus, masih banyaknya karyawan yang menggunakan KRL karena masih ada kewajiban kerja dan apabila tidak dilakukan maka ancamannya kena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sementara itu, pihak Kereta Commuter Indonesia juga beberapa waktu lalu berupaya mengurangi jam operasi. Namun hal itu tidak memunculkan solusi karena para penumpang justru semakin padat karena keterbatasan operasional tersebut, sementara kebutuhan akan moda tersebut masih sama.
“Saya minta Kadishub untuk lakukan sweeping segera, kalau tidak ditutup (usahanya), orang akan takut tidak dibayar,” katanya.
Sebelumnya, Kepala daerah Bogor, Depok dan Bekasi (Bodebek) mengusulkan agar operasional Kereta Rel Listrik (KRL) dihentikan sementara selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di daerah tersebut selama 14 hari.
Usulan penghentian sementara operasional KRL tersebut telah disampaikan dalam rapat pimpinan lima daerah di Bodebek bersama PT KAI dan PT KCI selaku operator commuter line pada Senin (13/4) sore. Penghentian sementara operasi KRL dinilai agar PSBB bisa berjalan dengan efektif dan penyebaran COVID-19 bisa ditekan dan trennya diharapkan menurun.
PSBB di Kota dan Kabupaten Bogor mulai diterapkan pada Rabu (15/4). PSBB diberlakukan sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus corona atau COVID-19.