REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*
Post-tragedy buat saya bermakna satu kondisi ketika hadirnya tragedi justru menjadi momentum kemunculan naluri hewani pada manusia untuk menciptakan tragedi-tragedi baru yang dianggapnya solusi ataupun prevensi atas tragedi objektif di depan mata.
Ketika pandemi corona terjadi, Muslimin di India alami stigma begitu mengerikan oleh sebagian saudara sebangsanya, terkhusus para pendukung partai rasis dan islamofobia yang tengah berkuasa. Saudara-saudara kita Muslim diperiksa, dipersekusi, di jalan-jalan. Askar-askar sipil pendukung partai berkuasa itu seakan tidak memberi ruang untuk membela ketika Muslim tengah di jalanan.
Bilalah untuk menghukum karena berada di jalan, ini bukan masalah. Menjadi satu hal mengenaskan apabila warga Muslim India diteror dengan menstigma bahwa mereka “teroris” bermodal Covid-19!
Begitulah, menjadi Muslim adalah harus dilabel sebagai jihadis corona. Persebaran corona di India dipandang sebagai fenomena serangan jihad Muslim pada warga Hindu. Anggota Jamaah Tabligh setempat alami dera: dicap sebagai Taliban penyebar corona di India. Satu tudingan yang telah dibantah para ilmuwan.
Tak berlebihan bila CJ Werleman, pegiat anti-islamofobia yang juga kolumnis Byline Times dan Inside Arabia, menuliskan bahwa India merupakan negara paling berbahaya bagi Muslimin selama pandemi corona.
Dan tragedi di India itu bukan mustahil hadir di tempat lain. Ini berlawanan dengan kabar yang terjadi di Eropa, yakni ketika ritual dan ekspresi keagamaan umat Islam diapresiasi. Bila sebelumnya niqab dan azan menjadi isu sensitif di Prancis, Italia, dan Jerman, kala pandemi corona berubah sedikit demi sedikit.
Sebagian dari apresiasi itu didokumentasikan dan disebarluaskan hingga viral di warga maya tanah air kita. Tentu saja dengan tetap menyeleksi mana yang memang berlata ada kausalitas dengan pandemi corona, dan mana yang kejadiannya tidak terkait sama sekali.
Di negeri ini, pandemi corona juga jadi pemacu aparatur rezim untuk bertindak sesuai alam pikirannya, bukan alam objektif. Maka, mendakwa hasil prasangka sudah dianggap kebenaran. Repot lagi kalau di balik itu ada proyeksi ekonomi: islamofobia-kontraterorisme-rupiah. Kita sedih dan tak habis pikir ada seseorang diperlakukan seperti Qidam al-Fariski, seorang warga Poso.
Tanpa alasan jelas, kejadian keji menimpa korban. Pembatasan sosial akibat pandemi corona seperti jadi momen untuk melabel warga yang disangka “berbahaya” dengan diikuti tindakan biadab.
Alhasil, baik dalam tragedi yang menjadikan corona sebagai serangan tragis ke Muslimin India, ataupun kejadian keji menimpa Qidam al-Fariski, juga tragedi-tragedi lainnya, semua ini menggambarkan adanya sekumpulan pelaku manusia yang antusias merayakan tragedi berupa pandemi sebagai kemunculan tragedi kemanusiaan. Dan itulah ulah bejat kaum islamofobia dalam ragam artikulasi dan modus operandinya.
Kiranya tepat apa yang disentil jurnalis Mehdi Hasan, “If anti-semitism is the world’s oldest hatred, perhaps Islamophobia is the world’s weirdest.” n
*Pensyarah pustaka di Perpustakaan Samben Yogyakarta, penulis "Mufakat Firasat".