Sabtu 18 Apr 2020 14:54 WIB

Mengenal Ibnu al-Haytham, Sang Ilmuwan Modern Pertama

Ibnu al-Haytham mempelopori metode eksperimen yang kelak mendasari penelitian modern

al haytham
Foto: wikipedia
al haytham

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan serba bisa ini bernama lengkap Abu Ali al-Hassan ibnu al-Haytham. Ia lebih dikenal sebagai al-Haytham. Dunia Barat menyebutnya sebagai Alhazen.

Al-Haytham lahir di Basrah, Irak, pada 965 M dan wafat di Kairo, Mesir, pada 1040 M. Mengutip uraian dari sejarawan Ibn Qifti (1172-1248), al-Haytham mengawali pendidikan dasarnya di kota kelahirannya itu. Bahkan, ia ketika dewasa sempat menduduki jabatan hakim.

Baca Juga

Namun, al-Haytham lantas memilih meletakkan jabatan tersebut. Sebab, ia mulai menyadari minat dan bakatnya sebagai ilmuwan, alih-alih pegawai birokrasi.

Meskipun sempat menolak, akhirnya pemerintah tak bisa berbuat banyak. Rezim saat itu, Dinasti Buwayhid, kemudian menerima surat pengunduran diri al-Haytham. Apalagi, yang bersangkutan sempat pura-pura sakit agar permohonan resign itu diloloskan.

Masyarakat memang mengenalnya sebagai penulis brilian. Ia rajin menulis buku dalam berbagai bidang. Mulai dari astronomi, fisika, matematika, filsafat, hingga sosial.

Popularitasnya mencapai Mesir. Al-Haytham lantas hijrah ke Negeri Piramida. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fathimiyah.

Sang Khalifah ingin agar al-Haytham membantunya dalam menyelesaikan proyek pembangunan bendungan di Sungai Nil. Mulanya, ilmuwan itu setuju untuk terlibat. Apalagi, ia melihat pekerjaan tersebut sebagai peluang untuk menerapkan gagasan-gagasannya dalam bidang rekayasa (engineering). Akan tetapi, ia lantas menyadari, rancangan dam tersebut jauh dari visi yang ada. Banyak pula bagian-bagian yang gagal sehingga banjir tetap meluap ke area sekitaran Nil.

Al-Haytham pun mengungkapkan niat untuk mengundurkan diri dari proyek tersebut. Namun, Khalifah al-Hakim menolaknya dengan keras. Lantaran khawatir akan keselamatan dirinya, al-Haytham pun berpura-pura gila sehingga penguasa memenjarakannya. Beruntung, ia lolos dari hukuman mati sebab Khalifah al-Hakim keburu meninggal dunia. Setelah itu, al-Haytham pun dibebaskan. Seluruh hartanya dikembalikan kepadanya.

Begitu bebas dari penjara, ia tetap bertahan di Kairo. Kesibukannya tercurah untuk mengajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan di Masjid al-Azhar. Di sana, ia antara lain mengajar ilmu matematika dan fisika.

Produktif

Al-Haytham sangat produktif dalam menulis buku. Sejarah mencatat, ia telah menulis tak kurang dari 200 karya. Semua meliputi banyak bidang, seperti fisika, matematika, rekayasa teknik (engineering), astronomi, pengobatan, psikologi, anatomi, dan optalmologi (ilmu kedokteran mata).

Dalam bidang optik, al-Haytham bahkan digelari ilmuwan zaman modern sebagai "Bapak Ilmu Optik Modern." Karyanya telah terhimpun dan masih dapat dijumpai hingga kini, yaitu Kitab al-Manazir, diterjemahkan jadi The Book of Optics.

Buku itu terdiri atas tujuh jilid. Uniknya, ia menghasilkan karya itu saat sedang dipenjara selama 10 tahun di Kairo.

Buku tersebut menjelaskan ihwal teori mengenai cahaya. Hipotesisi yang diajukannya terbilang revolusioner dan mendahului zaman. Sebab, teorinya berbeda dengan teori-teori waktu itu, baik yang berkembang di dunia Timur maupun Barat.

Sebagai contoh, ia menentang teori Ptolemy and Euclid yang menganggap, benda dapat terlihat karena cahaya yang keluar dari mata manusia. Ibnu Haytham menegaskan, bukan itu yang terjadi. Justru, cahaya datang dan/atau terpantul dari objek yang dilihat. Cahay itu lalu masuk ke mata sehingga terjadilah aktivitas melihat. Ia tak berhenti pada gagasan tersebut. Lebih lanjut, al-Haytham pun bereksperimen dengan kamera lubang jarum (pinhole camera).

Kitab al-Manazir juga menjelaskan teori tentang pembiasan cahaya. Di dalamnya, al-Haytham menjelaskan ihwal eksperimen yang dilakukannya dalam memilah cahaya putih menjadi warna-warni pelangi. Ia juga berjasa besar dalam menjelaskan penggunaan dan mekanisme kerja lensa cembung (convex), khususnya untuk memperbesar objek yang dilihat. Prinsip convex yang ditemukan al-Haytham kelak pada abad ke-13 digunakan untuk membuat kacamata. Kitab al-Manazir sudah menyinggung berbagai ulasan tentang sifat cahaya, tujuh abad sebelum Sir Isaac Newton mengulasnya dalam karyanya.

Karena selalu menyajikan hipotesis dan data dengan berbasis eksperimen, sejarawan juga menggelarinya sebagai "Ilmuwan Modern Pertama." Dalam hal ini, al-Haytham mempelopori penggunaan eksperimen dengan parameter yang terkontrol untuk verifikasi atas sebuah teori. Ia juga kerap memaklumkan pentingnya keraguan sebagai laku kerja seorang ilmuwan sejati.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement