REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Di Korea Selatan (Korsel), para ahli Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (KCDC) saat ini sedang mencoba memecahkan misteri baru terkait pandemi corona: mengapa 163 orang yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 kembali positif setelah dilakukan tes ulang. Fenomena yang sama juga terjadi di China, pasien sembuh kini kembali positif meski jumlahnya tidak dirilis secara resmi.
Apakah pasien yang telah sembuh dari Covid-19 kembali bisa terinfeksi virus corona? Mengapa antibodi dalam darah yang telah terbentuk oleh pasien yang telah terinfeksi tidak memberikan perlindungan terhadap risiko reinfeksi (tertular kembali) virus corona? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kini muncul di kalangan para ilmuwan di dunia.
Berdasarkan data yang dirilis KCDC akhir pekan ini, sekitar 2,1 persen dari 7.829 pasien sembuh dari Covid-19 kembali positif setelah dites ulang. Namun, KCDC menyatakan, belum menemukan indikasi bahwa para pasien yang kembali positif Covid-19 itu dapat menularkan penyakitnya, meski 44 persen dari mereka menunjukkan gejala ringan Covid-19.
Muncul beberapa dugaan awal mengapa seorang pasien bisa kembali menjadi positif Covid-19 setelah dinyatakan sembuh. Yang pertama, kemungkinan adanya kesalahan atau error dari alat tes. Kedua, virus corona kembali aktif dalam darah pasien sembuh.
Jika kemungkinan pertama yang terjadi, ada beberapa penyebab hasil tes Covid-19 bisa menjadi salah. Yakni, masalah pada bahan kimia yang digunakan dalam alat tes dan juga kemungkinan mutasi virus sehingga tidak bisa diidentifikasi oleh alat tes.
Namun, KCDC telah membantah premis pertama soal adanya tes error. Itu lantaran, Korsel dikenal sebagai negara yang secara masif menggunakan alat tes polymerase chain reaction (PCR) yang diyakini akurat ketimbang sistem rapid test. Tes PCR bekerja dengan mencari bukti genetik virus (RNA) lewat sampel swab dari pasien.
Setelah seorang sembuh dari suatu penyakit yang disebabkan oleh virus, tubuh mereka akan memproduksi antibodi. Antibodi menjadi perisai utama dalam tubuh untuk mencegah seseorang kembali terinfeksi sebagaimana tubuh telah mengetahui bagaimana cara memerangi virus yang sama. Namun, mengapa antibodi tidak bekerja semestinya pada sebagian tubuh manusia yang telah sembuh dari infeksi Covid-19?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam keterangan resminya Jumat (17/4), menyatakan, tidak yakin apakah keberadaan antibodi dalam darah memberikan perlindungan maksimal terhadap reinfeksi virus corona. WHO pun menduga, meski antibodi seharusnya bekerja efektif menangkal reinfeksi, sejumlah besar orang sepertinya tidak mengembangkan antibodi dalam tubuh mereka (serokonversi).
Fenomena pasien sembuh kembali positif Covid-19 dan kemungkinan tidak munculnya antibodi dalam darah pasien sembuh bisa memupuskan harapan sebagian pakar yang setuju atas penerapan teori ‘kekebalan kelompok’ (herd immunity). Dalam memerangi pandemi, sebagian ahli yakin, herd immunity akan menjadi jawaban, saat semua populasi tertular, setidaknya akan ada sekitar 70 sampai 80 persen dari mereka yang kemudian menjadi kebal dari virus corona setelah membentuk antibodi dalam darah.
Selain pupusnya strategi herd immunity, akhir dari masa pandemi Covid-19 semakin menjadi teka-teki kala banyak pasien yang telah sembuh kembali bisa terinfeksi. Sampai akhirnya nanti ditemukan vaksin dan obat Covid-19, negara-negara di mana corona mewabah, termasuk Indonesia, sepertinya masih harus terus menerapkan dan memperbaruai kebijakan pengetatan pembatasan sosial (social distancing) skala besar termasuk yang paling ekstrem semacam lockdown untuk jangka waktu yang lama.
Di Indonesia, kebijakan yang diambil adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). DKI Jakarta yang dilanjutkan oleh daerah penyangganya Bodetabek telah menerapkan PSBB.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, telah memberikan sinyal perpanjangan masa PSBB yang akan berakhir pada 23 April. Karena menurutnya, 14 hari tidak akan cukup saat penambahan kasus baru Covid-19 masih berakselerasi (statistik di DKI nyaris mencapai 3.000 kasus dari 5.000-an kasus positif Covid-19 secara nasional).
Pada pekan ini, dalam sebuah jurnal yang dirilis di Science, tim dari Harvard yang dipimpin seorang profesor epidemiologi, Marc Lipstich menyimpulkan, bahwa satu kali masa pembatasan sosial tidak akan cukup untuk mengontrol atau bahkan menghentikan masa pandemi. Tanpa kelanjutan pembatasan sosial yang ketat, menurut Lipstich, suatu negara harus bersiap akan gelombang kedua infeksi Covid-19 yang lebih besar.
Untuk kasus di Amerika Serikat (AS) yang tidak menerapkan lockdown total seperti beberapa negara di Eropa, hasil pemodelan Lipstich menyimpulkan masa pembatasan sosial setidaknya harus diterapkan hingga 2022. Sehingga menurutnya, prediksi Gedung Putih yang optimistis bahwa wabah akan berakhir pada musim panas 2020, menjadi tidak konsisten dengan penelitiannya.
“Obat dan vaksin...Semua itu yang bisa mengubah apa yang terjadi,” kata Stephen Kissler, rekan peneliti Lipstich di Harvard.
*penulis adalah jurnalis Republika.