Lebih dari 85.900 orang terjangkit virus corona dan hampir 5.400 meregang nyawa akibat COVID-19 di Iran, menurut Johns Hopkins University. Dengan begitu Iran termasuk 10 negara di dunia yang terdampak paling parah pandemi corona.
Peringatan yang dilayangkan Kementerian Sains Iran pekan lalu memicu kekhawatiran baru. Karena jika langkah karantina gagal diimplementasikan, hingga 75% warga Iran bisa terinfeksi virus corona, sementara angka kematian ditaksir bisa mencapai 30.000 kasus.
Namun jika karantina berhasil, angka kematian bisa ditekan ke kisaran 6.000 kasus.
Peringatan jernih lembaga sains berbanding kontras dengan pesan pemuka agama yang juga mengkampanyekan karantina. Ayatollah Ali Khamanei misalnya mengatakan virus corona adalah “musuh manusia” dan “iblis” bertanggungjawab atas pandemi COVID-19. “Kita mempunyai kekuatan jin dan manusia saling bahu membahu,” kata dia dalam pidato tahun baru Nowruz, 22 Maret lalu.
Langkah pragmatis
Terlepas dari pernyataan Khamanei, pemerintah mengambil kebijakan pragmatis ketika menyusun strategi menghadang virus, tanpa mengindahkan kepekaan relijius penduduk Iran.
Pada 16 Maret lalu pemerintah mengumumkan penutupan makam Imam Reza di Mashhad, dan saudara perempuannya, Fatimah binti Musa, di kota suci Qom. Kota yang menjadi pusat pendidikan agama itu merupakan lokasi pertama penyebaran wabah.
Tidak lama setelah keputusan itu diumumkan, sekelompok warga berdemonstrasi di kedua makam dan berusaha menerobos masuk melalui pintu utama. Video rekaman aksi para demonstran sempat menyebar luas di internet.
Namun aksi demonstrasi itu mendulang kritik dan kecaman. Serangan terhadap kedua makam merupakan contoh terbaik dari “kebodohan iman,” kata Ahmad Mazani, seorang ulama moderat yang duduk di parlemen.
Antara sains dan agama
Langkah rasional pemerintah memberi kesan bahwa agama dikesampingkan, kata Gul Jammas, analis politik dan jurnalis di Teheran. Sebagian besar warga keberatan jika situs-situs suci keagamaan ditutup, imbuhnya.
“Situs-situs ini dianggap sebagai pelindung spiritual dan fisik dalam melawan virus,” ujar Gul. “Jadi bukan dianggap sebagai lokasi sumber penyebaran virus,” imbuhnya sembari menambahkan keputusan penutupan makam suci merugikan secara politik.
Namun sebagian besar warga Iran menganut faham moderat, dan sebabnya “memahami bahwa agama dan sains adalah dua hal yang berbeda. Tapi juga tidak bertentangan satu sama lain. Keduanya bisa hidup bersama. Bagaimana kita melindungi kesehatan fisik dan mental, seharusnya diklarifikasikan oleh sains dan agama,” kata Gul.
Hal berbeda diungkapkan pakar Iran, Azadeh Zamirirad dari German Institute for International and Security Affairs (SWP). Krisis wabah corona menempatkan negara agama dalam posisi gamang, tulisnya dalam sebuah analisa untuk SWP.
Menurutnya negara tidak hanya harus menunda upacara keagamaan yang penting buat menjaga reputasi politik pemerintah, tetapi juga secara aktif melarang penduduk mengikuti ritual-ritual tersebut.
Dalam kondisi krisis, tulis Azadeh, negara Islam Iran harus melumpuhkan kehidupan agama dengan dukungan pemimpin spiritual sebagai otoritas agama tertinggi.
“Penutupan makam dan masjid yang selama berabad-abad dianggap sebagai tempat perlindungan dan penyembuhan memicu demistifikasi ajaran-ajaran Syiah,” tulisnya
Untuk memitigasi dampak psikologis dari penutupan makam suci dan menggerakkan warga agar mau mematuhi karantina, pemerintah sampai harus memberi alasan yang bombastis, kata Jammas.
“Pemerintah menjelaskan bahwa corona bukan virus biasa. Ia bisa jadi merupakan senjata biologis yang disebarkan imperialis internasional untuk menyerang Iran dan Cina. Hasilnya, kebanyakan warga lebih serius menaati arahan pemerintah terkait pengendalian wabah,” kata Jammas.
Peluang bagi Sekularisme?
Selama berbulan-bulan, pemerintah Iran mencoba mencari jalan keluar dari situasi muram yang disebabkan krisis ekonomi berkepanjangan. Ribuan demonstran turun ke jalan dan menuntut janji pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Setelah insiden jatuhnya pesawat sipil Ukraina setelah ditembak Garda Revolusi awal Januari lalu, pemerintah mendapat serangan politik karena dianggap abai menyiapkan strategi komunikasi yang lebih baik.
Rasa ketidakpuasan warga memuncak ketika wabah corona melanda, hasilnya gagasan sekularisme mulai mendapat momentum, tulis Azadeh.
Pemisahan antara agama dan negara bersebrangan dengan konsep Wilayatul Faqih atau kekuasaan para ulama yang menjadi landasan dasar republik Islam di Iran. “Namun krisis saat ini kembali mempertanyakan hubungan antara agama dan negara.”
Namun menurut Azadeh, gelombang baru Sekularisme gagal merontokkan keyakinan warga yang beralih kepada agama untuk berlindung dari ancaman wabah. Mereka lebih banyak beribadah ketimbang biasanya dan mengamalkan sejumlah perilaku Nabi Muhammad untuk menjaga diri dari penularan.
“Semua ini membantu warga, terutama yang alim, untuk bekerja lebih efektif melawan penularan,” kata Jammas.
rzn/vlz