REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia (BEI) melihat penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia akan cukup menantang bagi pasar modal. Bursa pun memperkirakan jumlah perusahaan yang melaksanakan penawaran umum saham (IPO) tidak akan ramai pada tahun ini.
"IPO sampai akhir tahun proyeksinya tidak akan seperti 2018, mungkin akan lebih rendah," kata Direktur Penilai Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna melalui konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat (24/4).
Menurut Nyoman, Bursa harus realistis melihat kondisi perekonomian nasional maupun global akibat dampak dari wabah Covid-19. Meski demikian, Bursa mengupayakan semua perusahaan yang sudah masuk daftar antre atau pipeline tetap bisa menjadi perusahaan tercatat.
Di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian ini, Nyoman memastikan Bursa akan tetap mengutamakan kualitas perusahaan dibandingkan kuantitas. Menurutnya, semua perusahaan yang ada di pipeline sudah melewati proses screening atau seleksi dengan ketat.
Berdasarkan data BEI per 23 April 2020, jumlah perusahaan yang sudah mencatatkan sahamnya melalui mekanisme IPO mencapai 26 perusahaan. Sebesar 65 persen Perusahaan Tercatat pada 2020 tersebut menunjukkan tren kenaikan harga saham sejak awal saham-sahamnya mulai dicatatkan di BEI.
Nyoman menilai minat perusahaan untuk IPO di Indonesia terbilang masih tinggi di tengah kondisi perekonomian yang melemah akibat terdampak Covid-19. Hingga saat ini, masih ada 18 perusahaan lagi yang masuk pipeline pencatatan saham baru.
"Posisi per Maret 2020, Indonesia mencatatkan IPO tertinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya," tutur Nyoman.
Sejak awal tahun, kinerja saham global mulai mengalami penurunan setelah menyebarnya Covid-19 di Wuhan, China. Di Indonesia, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai terjadi pada awal Maret sejak diumumkannya kasus pertama di dalam negeri.
Secara year to date, IHSG sudah terkoreksi tajam sebesar 27 persen. Pada awal tahun, posisi IHSG sempat menembus di atas 6.000. Saat ini, IHSG anjlok dan menyentuh level 4.500.