REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah Dan Aktivis Dewan Da'wah 1989-1997
KAMIS (23/4/20) malam, Ibu Aisjah Natsir, mengirim kabar sebagai berikut: "Mohon doa untuk Ramlan Mardjoned (yang) sedang dirawat di rumah sakit Aminah Kreo. Kondisi lemah tidak mau makan dan asma. Awalnya ke RS Pelni yang biasa berobat, tetapi tidak diterima karena untuk RS Covid. Sekarang sedang menunggu untuk dirujuk ke rumah sakit lain. Mudah-mudahan tidak kena Covid-19. Aamiin ya rabbal 'aalamiin."
Kabar itu saya balas singkat: "Aamiin ya Rabbal 'alamiin."
Sangat ingin saya menjenguk Bang Lan (demikian H. Ramlan Mardjoned menyebut dirinya, demikian pula saya menyapanya), tetapi di tengah serangan wabah corona, dengan Jakarta sebagai episentrumnya, keinginan itu cuma jadi keinginan.
Dibantu Gubernur Anies
KETIKA menjelang Ashar hari Sabtu (25/4/20) sahabat dan senior saya Buya Zulfi Syukur mengirim pesan: "Apa betul Pak Ramlan kena Corona? Kok dimakamkannya protap Corona sih...", saya terlonjak. Saya merespons pertanyaan Buya Zulfi dengan pertanyaan balik: "Bang Lan meninggal?"
Maklum, sampai menjelang Ashar, saya baru memegang HP.
Meskipun ketika menerima kabar dari Ibu Aisjah, saya sudah mencemaskan kemungkinan datangnya kabar buruk, kepergian Bang Lan tetap menorehkan duka mendalam.
Dari Group WhatsApp "KB Dewan Da'wah" saya memeroleh konfirmasi mengenai wafatnya Bang Lan dalam usia 74 tahun.Kabar duka itu segera saya teruskan ke Gubernur DKI, Anies R. Baswedan yang saya ketahui cukup dekat hubungannya dengan Bang Lan.
Di tengah suasana duka, jawaban Gubernur Anies sungguh membahagiakan:
"Sejam yang lalu sudah dibereskan urusan pemakamannya. Telepon-teleponan dengan anaknya, Yunan." Alhamdulillah.
Sekretaris Dua Pemimpin
UNTUK pertama kali saya bertemu Bang Lan di Yogyakarta tahun 1984. Saat itu Bang Lan menemani perjalanan Pak Natsir dan Umi Nurnahar meninjau pembangunan Masjid Abu Bakar Ashshiddiq dan Padepokan Budi Mulia di Jalan Kaliurang.
Dalam kunjungan tersebut, Pak Natsir menyempatkan shalat Jum'at bersama jama'ah Shalahuddin di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Menjelang kembali ke Jakarta, Pak Natsir --dan Umi yang selama kunjungan menginap di rumah Dr. A. Watik Pratiknya di bilangan Warung Boto-- menyediakan waktu untuk berdialog dengan sejumlah cendekiawan Muslim.
Dalam dialog yang cukup hangat itu hadir antara lain Saifullah Mahyuddin, A. Syafii Maarif, Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Chairil Anwar, Adabi Darban, Zulikfli Halim, dan Said Tuhuleley.
Sebagai Sekretaris yang mendampingi perjalanan Pak Natsir dan Umi, Bang Lan benar-benar memerankan dirinya sebagai staf. Tanpa diminta, dia tidak pernah terlihat mencampuri urusan yang menjadi fokus perjalanan.
Dalam dialog di rumah Dr. Watik, Bang Lan duduk-duduk saja di belakang, menyimak pembicaraan.
Di bandara Adi Sucipto, ketika Pak Natsir dan Umi menunggu jadwal penerbangan, dengan sabar Bang Lan mengatur kader-kader Pak Natsir yang ingin berfoto dengan tokoh idolanya itu.
Bang Lan tidak terlihat mau menonjolkan diri di dalam melaksanakan tugasnya. Saya menduga, karena sikapnya itulah, Pak Prawoto Mangkusasmito dan Pak Natsir tertarik kepada Bang Lan, dan memintanya menjadi Sekretaris Pribadi.
Posisi sebagai Sekretaris Pribadi dua tokoh umat dan bangsa, tentu tidak diperoleh Bang Lan dengan cuma-cuma alias gratis. Pak Prawoto dan Pak Natsir tentu telah lebih dulu menelisik jejak perjuangan Bang Lan.
Di antara jejak perjuangan Bang Lan, dituturkan oleh aktivis senior Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) yang juga Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Ibn Khaldun (YPIKA) Bogor, Hardi M. Arifin.
Dalam sebuah risalah tidak berjudul, Arifin menulis: "Pada bulan November 1965 datang ke Menteng Raya 58 Jakarta, rombongan dari Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jawa Barat, dari Bandung. Saya lihat seorang Kapten turun dari mobilnya terlebih dahulu, lalu menemui saya yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu. Sang Kapten bertanya: 'Siapa penanggung jawab di sini?'. Saya jawab: 'Saya'.
Lalu Kapten itu bertanya lagi: 'Saudara bisa menerima seorang tahanan dari Bandung, asalnya dari Kalimantan Barat, tetapi dia minta diantar ke Jalan Menteng Raya 58.' Saya jawab: 'Bisa'."
Selanjutnya, Arifin menulis: "Ternyata yang dibebaskan dari Bandung itu Ramlan Mardjoned."
Sayang, Arifin tidak menjelaskan musabab Ramlan ditahan di Bandung. Bang Lan sendiri, sepanjang pergaulan saya dengannya, tidak pernah bercerita tentang hal itu.
Seorang aktivis di Kalimantan Barat ditangkap, dan dipenjara di Bandung, tentulah besar sekali dosanya di mata rezim diktator-otoriter Sukarno. Gerangan apa yang menyebabkan rezim diktator-otoriter Orde Lama murka kepada Bang Lan, belum terungkap.
Perhatian kepada Yuniornya
Jikalau ada seseorang yang meninggal dunia, kenanglah kebaikannya. Apabila tulisan ini menyebut Bang Lan orang baik, maka itu bukan karena memenuhi anjuran di atas. Melainkan karena Bang Lan memang orang baik.
Aktivis Dewan Da'wah generasi 1980-an dan 1990-an pasti mencatat kebaikan Bang Lan dengan tulisan amat tebal.
Sebagai salah seorang senior di lingkungan Dewan Da'wah, Bang Lan adalah tempat curhat para yuniornya. Dan Bang Lan adalah senior yang mau menjadi pendengar yang baik. Perhatian dan simpatinya kepada para yuniornya, sungguh luar biasa.
Jika ada staf di lingkungan Dewan Da'wah menikah, dengan sigap Bang Lan akan mengoordinir dan menyiapkan segala sesuatunya agar keluarga besar Dewan Da'wah dapat menghadiri resepsi pernikahan. Jika tempatnya jauh, rombongan diberangkatkan dengan bus.
Demikianlah, kami pernah menghadiri resepsi di Surakarta, juga di Garut.
Suatu hari di akhir Ramadhan, saya dipanggil Bang Lan ke ruang kerjanya. "Ini ada bahan celana. Dan ini ongkos jahitnya."
Memimpin Serial Khutbah Jum'at
Pada permulaan tahun 1980-an, uwa (Pak Dhe) saya H.M. Mughni Nawawi yang tahu saya akan ke Jakarta meminta --kalau saya mampir ke Kramat Raya 45-- supaya dibelikan Serial Khutbah Jum'at_. "Kalau mungkin beberapa nomor," kata H. Mughni.
Itulah untuk pertama kalinya saya mengenal majalah SKJ yang diterbitkan.oleh Ikatan Masjid Indonesia (IKMI). Majalah berformat buku saku itu isinya khas: empat khutbah Jum'at, untuk edisi Idul Fitri atau Idu Adha ditambah khutbah Id, Idarah Masjid, Laporan Kegiatan Masjid dari berbagai Daerah, dan Kajian Tafsir serta Hadits.
Suatu hari di Masjid Jenderal Sudirman, Colombo, Yogyakarta, saya lihat khatib menyampaikan khutbah Jum'at berdasarkan naskah yang dibacanya dari majalah SKJ. Khutbah yang ringkas dan berisi.
Ketika dalam satu kesempatan saya menceritakan yang saya lihat itu kepada Dr. M. Amien Rais, tokoh reformasi itu memuji kreatifitas IKMI menerbitkan SKJ yang sangat membantu para khatib di daerah-daerah. Dr. Amien Rais mengharap agar format SKJ jangan diubah. "Supaya bisa dikantongi oleh khatib kita."
Di dalam SKJ yang terbit sejak 1979, Bang Lan menjadi Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab.
Selain memimpin SKJ, Bang Lan juga memimpin penerbit Media Dakwah dan Toko Buku Media Dakwah.Ketika pesan Dr. Amien Rais saya sampaikan, Bang Lan menjawab: "Insya Allah".
Mengalahkan Kedaulatan Rakyat
Di Yogyakara ada surat kabar Kedaulatan Rakyat. Orang Yogya biasa menyebutnya KR. Ini koran paling terkenal di Yogya.Ketika beberapa koran di Yogya sudah tidak terdengar lagi kabar beritanya, KR yang terbit sejak awal kemerdekaan tetap eksis sampai hari ini.
Mahasiswa Yogya generasi 1970-an dan 1980-an yang suka menulis, mengenang KR secara khusus, terutama dalam perkara membayar honor penulisnya. Jika media lain baru membayar honor tulisannya sebulan kemudian, atau sesudah ditagih, atau malah tidak pernah membayar honor penulisnya. KR lain.
Hari itu tulisan dimuat, hari itu juga honor bisa diambil. Seringkali tiba di kasir, sang penulis tinggal tanda tangan. Sebab semua rincian keterangan di blanko, sudah diisi oleh petugas. Rupanya petugas sudah hafal siapa saja mahasiswa-penulis yang selalu mengambil honor persis pada hari tulisannya dimuat.
Bertahun-tahun saya mengagumi keunggulan KR di dalam membayar honor penulisnya. Kekaguman itu mulai berkurang sesudah saya mengenal Bang Lan dengan SKJ-nya. Ternyata SKJ lebih hebat dari KR. Majalah ini biasa membayar honor penulisnya, sebelum tulisan dimuat.Bang Lan dan SKJ adalah "juru selamat" saat aktivis Dewan Da'wah sedang kesulitan atau sedang memerlukan dana.
Bang Lan membantu dengan "membeli" tulisan para aktivis Dewan Da'wah. Bukan satu atau dua tulisan. Seringkali 10 sampai 25 tulisan dibayar oleh Bang Lan.Belum pernah saya dengar, teman yang datang ke Bang Lan, ditolak tulisannya.
Sayang, SKJ dan penerbitan lain di Dewan Da'wah tidak mampu menyahuti kecanggihan teknologi sehingga satu persatu hilang dari peredaran.
Almarhum Bang Hussein Umar kerap mengeluh, ketika penerbitan lain baru belajar, penerbitan di Dewan Da'wah sudah maju dan sudah punya percetakan sendiri. Mengapa orang lain maju, kita malah mundur.
Keluhan Bang Hussein itu harus dijawab oleh generasi mutakhir Dewan Da'wah. Bang Lan, seperti Bang Hussein, sudah selesai tugasnya.
Bang Lan tidak bisa lagi berkata dengan gaya bertanya: "Lukman, coba kau baca lagi halaman sekian. Bang Lan merasa ada yang kurang pas."Dan saya pun menjawab: "Ya, Bang."
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.