Ahad 26 Apr 2020 18:15 WIB

Tiga Skenario Tahun Ajaran Baru di Tengah Covid-19

Wasekjen FSGI memperkirakan tiga skenario yang mungkin terjadi di tengah pandemi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Imbauan belajar di rumah (ilustrasi)
Foto: Republika
Imbauan belajar di rumah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memperkirakan sejumlah skenario yang mungkin terjadi pada tahun ajaran baru di masa pandemi. Menurutnya, setidaknya ada tiga skenario yang mesti dipersiapkan oleh pemerintah.

Skenario pertama, apabila kondisi berjalan normal. Selama ini pemerintah masih mengasumsikan tahun ajaran baru berjalan normal yakni dimulai pada Juli 2020. Apabila ini yang diinginkan, maka pada Mei atau Juni kondisi kesehatan di Indonesia harus sudah dalam keadaan baik.

"Harapannya begitu. Jika begitu tentu tidak masalah," kata Satriwan, di dalam sebuah diskusi daring Ahad (26/4).

Selanjutnya, skenario kedua yaitu apabila belum ada tanda-tanda perbaikan. Meskipun belum ada tanda-tanda perbaikan dari segi kesehatan namun tahun ajaran tetap diberlakukan Juli 2020. Apabila demikian, maka pembelajaran semester depannya menjadi daring atau online.

Ia menegaskan, hal ini yang wajib dipersiapkan. Di antaranya adalah tentang kuota internet untuk siswa dan guru, ataupun peraturan-peraturan agar pembelajaran daring tidak mengalami kendala. "Ini yang wajib menjadi perhatian," kata dia lagi.

Sedangkan skenario ketiga adalah yang berubah paling besar, yaitu menggeser tahun ajaran baru ke Januari 2021. Negara lain memiliki tahun ajaran baru yang berbeda-beda. Satriwan mencontohkan Jepang yang dimulai pada April dan Korea Selatan pada Maret.

Artinya, lanjut dia, menggeser tahun ajaran baru bisa menjadi alternatif kebijakan. Sebab, kondisi pandemi Covid-19 masih belum jelas akan berakhir kapan. Tidak sedikit pula ahli yang memperkirakan akan terus berlangsung hingga akhir tahun.

Apabila skenario kedua yang diambil pemerintah, Satriwan menegaskan harus dibuat kurikulum darurat khusus. Hal ini penting agar di dalam bencana nasional guru dan siswa tidak kesulitan menjalankan pembelajaran.

Sebab, kata dia, meskipun pemerintah sudah menegaskan tidak mewajibkan guru memenuhi capaian kurikulum secara utuh, masih ada guru yang tetap mendorong capaian utuh karena merasa tidak yakin. Hal ini tentunya akan menyusahkan siswa.

"Karena standar penilaiannya berubah atau setidaknya ada pergesaran. Tidak lagi tatap muka. Jadi kami berpikir harus ada kurikulum darurat Covid-19," kata Satriwan menegaskan.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengatakan, selama ini pihaknya telah mendorong perangkat negara untuk memaksimalkan semua sumber daya untuk menghadapi Covid-19. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi akan berakhir.

"Tinggal pertanyaannya, ini semua diskemakan selesai bulan April-Mei, sekarang pertanyaannya, ini waktunya masih panjang prediksinya bisa sampai akhir tahun walaupun ini masih debatable," kata Syaiful, dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, memang perlu ada penyesuaian kebijakan yang harus dilakukan pemerintah, dalam konteks ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebab, kebijakan yang diambil sejauh ini mengikuti skema awal yakni Mei diasumsikan Covid-19 akan terkendali.

Namun, ia setuju bila pemerintah harus siap menerima kemungkinan terburuknya. Karena itu, perlu ada penyesuaian dan evaluasi lebih jauh terhadap kebijakan yang diambil sejak masa awal pandemi hingga saat ini.

"Skema awalnya hanya sampai dengan Mei pandeminya. Namun ada yang diperkirakan sampai akhir tahun ini, yang berarti ada tambahan sekitar enam bulan lagi, yang saya kira butuh perangkat-perangkat kebijakan," kata Syaiful menegaskan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement