REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Murtadha Az-Zabidi. Seperti tampak dari gelarnya itu, ia adalah keturunan Rasulullah SAW. Ia lahir pada 1145 H/1732 M.
Sejak kecil, az-Zabidi menempuh pendidikan agama. Ia telah menghafal Alquran saat usianya belumlah remaja. Mulanya, ia belajar di Kota Khairabad (India). Selanjutnya, ia hijrah berturut-turut ke Akbarabad dan Delhi. Saat usianya 15 tahun, az-Zabidi berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan ibadah ini juga dimaksudkannya sebagai rihlah keilmuan.
Ia berangkat dari pelabuhan Gujarat, lalu mendarat di Yaman. Ia sempat singgah di Kota Mizjajah sebelum mencapai Zabid di Hudaidah. Di sana, ia berguru pada sejumlah ulama besar. Bahkan, az-Zabidi berhasil mendapatkan ijazah sanad kitab Qomus al-Muhith karya Al-Firuzabadi. Kelak, kitab itulah yang menginspirasinya untuk menulis Tajul Arus Minjawahiril Qamus.
Sesampainya di Makkah, ia segera melaksanakan haji. Usai musim haji, ia tetap di Masjid al-Haram untuk mengikuti kajian-kajian keilmuan. Di sana, ia berguru pada pakar ilmu hadis, Sayyid Umar bin Ahmad Al-Husaini.
Az-Zabidi juga amat gemar menulis. Ia terbilang produktif lantaran telah menghasilkan lebih dari 100 karya. Sebagian besar membahas perihal ilmu hadis dan tata bahasa. Ketekunan menjadi ciri khasnya. Sebagai contoh, Tajul Arus Minjawahiril Qamus diselesaikannya dalam waktu 14 tahun. Sebab, ia begitu teliti dalam memasukkan referensi dan menguraikannya.
Setelah terbit, karya itu menjadi kamus bahasa Arab yang populer di tengah masyarakat. Az-Zabidi juga menelaah pemikiran Imam al-Ghazali. Hal ini dituangkannya dalam kitabnya, Ithafus Sadah Al-Muttaqin Syarah Ihya’ Ulumuddin, yang memerlukan waktu 11 tahun untuk menyelesaikannya.
Az-Zabidi meninggal dunia pada 4 Sya’ban 1205 atau 13 September 1790. Pada masa itu, Jazirah Arab diserang wabah (tha'un) yang meluas terutama dari Mesir. Usai shalat Jumat, az-Zabidi merasa lidahnya kelu. Inilah salah satu gejala terkena tha'un. Beberapa lama kemudian, ia menghembuskan nafas terakhir. Sesudah wafatnya, perpustakaan pribadinya dibeli penguasa Utsmani, Sultan Abdul Hamid I. Raja tersebut lantas mewakafkan seluruh koleksi berharga itu untuk umum.