REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyatakan, perusahaan pers cetak terkena imbas pandemi Covid-19. Sebanyak 44 perusahaan pers anggota SPS yang disurvei secara acak sederhana, baik di daerah maupun DKI Jakarta, mengakui jika Covid-19 telah memberi tekanan bisnis bagi mereka.
"Kalau teman-teman di surat kabar harian terutama ya itu memang relatif mengalami penurunan yang sangat signifikan dari sirkulasi," ujar Sekretaris Jenderal SPS Pusat, Asmono Wikan saat dihubungi Republika, Jumat (1/5).
Sebesar 80 persen responden mengatakan, tekanan itu bervariasi. Mulai dari penurunan iklan, sirkulasi, hingga berkurangnya aktivitas offprint dari program bersama klien seperti seminar, pelatihan, ulang tahun perusahaan, dan sebagainya.
Sementara, hanya 20 persen responden yang merasakan tekanan itu terjadi pada salah satu faktor tersebut. Fakta ini menunjukkan, bagi perusahaan pers cetak, krisis akibat pandemi Covid-19 benar-benar berdampak kompleks.
Akibat tekanan tersebut, semua responden mengakui terjadi penurunan konsolidasi pendapatan yang signifikan pada periode 1 Maret sampai 15 April 2020 dibanding periode yang sama pada tahun 2019. Sebanyak 71 persen perusahaan pers omzetnya menurun lebih dari 40 persen selama masa pandemi Covid-19 dibandingkan periode 2019.
Penurunan pendapatan terbanyak dalam rentang 40 persen sampai 60 persen, dialami oleh 38,63 persen responden. Sedangkan, penurunan di atas 60 persen terjadi kepada 31,81 persen responden.
Sementara, hanya 29 persen responden yang pendapatannya turun di bawah 40 persen. Menurut Asmono, tekanan bisnis bukan hanya dipengaruhi faktor pasar, melainkan kebijakan pemerintah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ikut berdampak pada peredaran surat kabar.
Selain itu, ia juga mendapati beberapa korporasi maupun instansi pemerintahan harus mengurangi belanja iklan di media massa karena Covid-19. Sehingga, pendapatan perusahaan pers baik cetak, elektronik, maupun online dari iklan menurun.
Penurunan iklan pada perusahaan pers cetak juga diiringi menurunnya oplah. Sebanyak 70 responden mengaku melakukan efisiensi dengan mengurangi volume atau oplah cetak dan 57 responden mengurangi halaman penerbitan surat kabar.
Asmono mengatakan, beban usaha terbesar akibat dampak krisis terjadi pada faktor gaji (THP) karyawan sebesar 68 persen. Kemudian disusul biaya cetak sebanyak 45 persen.
Hampir separuh responden juga melakukan pemotongan gaji karyawan selain efisiensi surat kabar. Selain itu, perusahaan pers juga memangkas biaya operasional, mengurangi frekuensi penerbitan, hingga menghentikan tunjangan uang makan dan uang transpor karyawan.
Kendati demikian, hasil survei menemukan sebanyak 56,8 persen responden tidak berencana untuk merumahkan karyawan tanpa digaji (unpaid leave). Sementara sisanya 43,2 persen sudah dan sedang mengkaji opsi tersebut.
Jika didalami, perusahan pers daerah yang justru cenderung mengambil kebijakan ini (38,6 persen) dibanding perusahaan pers di Jakarta (4,45 persen). Umumnya (61,4 persen) perusahaan pers baik di Jakarta maupun daerah, kompak tidak berencana atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Sementara ada juga 38,6 persen responden yang sudah dan tengah berencana memberhentikan karyawan. SPS tidak memungkiri opsi PHK menjadi pilihan yang sangat mungkin ditempuh perusahaan pers di tengah krisis karena pandemi Covid-19 ini.
Asmono melanjutkan, setidaknya ada 30 persen responden yang masih melihat ada peluang di balik krisis ini. Perusahaan pers di Jakarta yang melihat masih ada peluang bisnis sebesar 18,18 persen, sedangkan di daerah hanya 11,36 persen.
Menurut responden perusahaan pers daerah, peluang itu bisa berasal dari kerja sama iklan dengan pemerintah daerah terutama di masa penanganan Covid-19. Kemudian, peluang untuk memproduksi konten bagi klien, penayangan iklan pejabat daerah yang meninggal akibat Covid-19, hingga tetap memperkuat pemasaran berlangganan surat kabar.
Bagi para perusahaan pers cetak di Jakarta, peluang yang mereka rasakan adalah seperti penerbitan buku, penguatan pemasaran produk dan iklan (majalah/surat kabar/tabloid) versi digital (e-paper dan website), penyelenggaraan seminar online, hingga kerja sama dengan pemerintah dan korporasi terkait kampanye melawan Covid-19.
Tak hanya itu, responden memandang media cetak memiliki peluang kuat sebagai referensi utama melawan penyebaran hoaks atau berita bohong dari media online dan media sosial. Adapun mayoritas responden yang merasa tidak ada peluang bisnis di masa pandemi ini, berharap agar pemerintah memberikan insentif.
Asmono menyebutkan, insentif itu berupa pajak, penundaan pembayaran BPJS, dan bantuan jaring pengaman sosial bagi karyawan perusahaan pers yang terdampak. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan subsidi biaya kertas koran.
"Komponen yang paling banyak kena itu nomor satu gaji dan biaya kertas. Karena ini relatif besar, biasanya kertas sama cetak itu memakan sekitar 40 persen sampai 50 persen dari biaya produksi," kata Asmono.