Rabu 06 May 2020 05:00 WIB

Libur Sabtu dan Ahad, Benarkah Menyerupai Yahudi-Nasrani?

Para ulama berbeda pendapat soal libur Sabtu Ahad.

Para ulama berbeda pendapat soal libur Sabtu Ahad.  Jalanan Jakarta yang lengang saat tanggal merah.
Foto: Antara
Para ulama berbeda pendapat soal libur Sabtu Ahad. Jalanan Jakarta yang lengang saat tanggal merah.

REPUBLIKA.CO.ID, Hari libur nasional akhir pekan di sejumlah negara berbeda-beda. Ada yang Jumat dan Sabtu dan ada pula Sabtu-Ahad. Untuk libur Sabtu dan Ahad, apakah hal demikian dianggap sebebagai perbuatan yang menyerupai non-Muslim Yahudi dan Nasrani?  

Muncul perbedaan di kalangan ulama. Mantan dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud, Arab Saudi, Prof Su’ud al-Fanisan, berpendapat, memang Islam tak mengenal hari libur tertentu. Hari-hari selama sepekan hakikatnya adalah rutinitas dan bergerak.

Namun demikian, jika memang hendak menetapkan hari libur, semestinya tidak menyerupai pola libur yang berlaku di kalangan Yahudi. Dalam tradisi mereka, Sabtu merupakan hari yang suci sehingga Jumat dinyatakan libur untuk beragam bentuk persiapan. Atas dasar ini, penetapan itu adalah bentuk penyerupaan (tasyabuh) dengan tradisi Yahudi. “Ini tidak diperbolehkan,” ujarnya.

Prof Su’ud pun lantas mengutip sejumlah dalil antara lain Rasulullah SAW pernah menegur sejumlah sahabat yang “memberkati” senjata mereka di pepohonan dengan rujukan kebiasaan Yahudi. Rasul lantas melarang mereka.

Selain dalil ini, ia berargumentasi pula bahwa perubahan hari libur nasional itu berarti mengubah pula tradisi yang baik beralih jelek. Apalagi, Kamis merupakan hari yang sarat dengan keutamaan karena itu dianjurkan berpuasa. Allah SWT berfirman, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS al-Baqarah [2]:61).

Namun, sekalipun ada unsur tasyabuh yang dilarang, Prof Su’ud menegaskan, tidak gegabah menghukumi pelakunya—dalam konteks masalah ini—dengan label fasik bahkan kafir.  

Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, pada 2012 sebelum perubahan resmi ditetapkan tahun ini menolak keras rencana penggantian libur tersebut. Ia mengingatkan bahwa Sabtu dalam tradisi Yahudi bukan sekadar hari libur biasa, melainkan hari suci keagamaan. Hal ini terbukti dari pernyataan Ibnu Taimiyah.

Menurut sosok yang bergelar Syekh al-Islam itu, Yahudi mengagungkan Sabtu karena menurut keyakinan mereka pada hari inilah Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi. Sementara itu, berdasarkan kepercayaan Nasrani, Ahad adalah hari pertama ketika Tuhan memulakan penciptaan langit dan bumi.

Umat Islam dimuliakan dengan Jumat. Pada hari tersebut, penciptaan telah sempurna. Adam manusia pertama diciptakan pada Jumat. Kiamat pun akan datang pada hari itu. Jumat juga merupakan hari yang istimewa untuk berdoa. Karena ada waktu yang manjur untuk berdoa, terdapat juga anjuran sholat Jumat.

Dengan demikian, ujar Syekh Fauzan, mengganti hari libur Jumat-Sabtu atau bahkan Sabtu-Ahad tidak diperbolehkan karena menyerupai tradisi Yahudi dan Nasrani. Apalagi, tradisi tersebut berkorelasi kuat dengan akidah dan kepercayaan mereka.

Rasulullah melarang tasyabuh semacam ini. “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka,” tulis Syekh Fauzan menukilkan sabda Rasul. 

Secara terpisah, Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’) menegaskan, penetapan hari libur nasional termasuk perkara mubah dalam Islam. Tak ada ketentuan dan batasan syar’inya untuk menunjuk hari tertentu. Tak ada korelasi pula hari raya agama tertentu dengan libur nasional tersebut.

Perhatikan saja, tulis lembaga yang kini diketuai oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, para generasi salaf tidak pernah memperkenalkan libur pekanan, seperti Jumat ataupun dua hari raya Idul Fitri dan Adha. Justru hari-hari tersebut, terlepas dari kesuciannya dan anjuran sholat, mendorong segenap umat untuk berkarya, bukan malah santai.

Simak ayat ke-9 dan ke-10 surat al-Jumu’ah. Dua ayat tersebut mengisyaratkan secara jelas seruan untuk beraktivitas atau bertransaksi sebelum atau sesudah sholat Jumat dilaksanakan. Ayat tersebut sama sekali tidak menyerukan untuk bersantai-santai pada Jumat.

Dar al-Ifta’ menegaskan, bila pemerintah memberlakukan libur nasional Jumat-Sabtu ataupun Sabtu-Ahad, ketetapan itu tidak dikategorikan penyerupaan Yahudi atau Nasrani yang dilarang agama. Perkara dianggap penyerupaan bila memenuhi dua syarat. Pertama, aktivitas yang ditiru tersebut termasuk perkara yang dilarang. Kedua, yang bersangkutan memang berniat untuk menduplikat perilaku tertentu tersebut. 

Umar bin Khattab mengikuti Romawi soal dokumentasi atau administrasi ketika para sahabat menaklukkan Persia. Mereka shalat menggunakan celana khas Persia. Hal semacam ini bukan tasyabuh yang dikecam agama.

Ibnu Hajar al-Asqalani di Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari menguraikan persoalan ini dengan mencontohkan tren baju jubah thailasan yang familiar dalam tradisi ritual Yahudi. Kini model baju itu menjadi mode dan tak lagi terbatas untuk mereka.

Oleh karena itu, boleh-boleh saja mengenakannya. Penegasan ini juga disampaikan oleh Imam Izzuddin Ibn Abd as-Salam. Demikian halnya soal libur Sabtu atau Ahad. Dunia internasional, baik Yahudi, Nasrani, maupun umat beragama lainnya, menggunakan hari ini sebagai libur nasional. Kedua hari itu bukan lagi domain Yahudi atau Nasrani dan telah menjadi lumrah. 

Maka, penetapan kapankah harus libur nasional diserahkan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Tidak ada kaitannya dengan tasyabuh ataupun bid’ah yang digembor-gemborkan sebagian kalangan. 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement