REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*)
Wabah virus corona baru penyebab Covid-19 menghantam seluruh sendi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Hingga hari ini belum ada yang bisa memastikan kapan wabah ini akan berakhir dan roda perekonomian bisa kembali berjalan lancar.
Dibandingkan kelompok orang kaya, para karyawan dengan fixed income dan aparatur sipil negara (ASN), mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan di bawah Rp 2 juta per rumah tangga per bulan menjadi kelompok yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Mereka yang termasuk dalam kategori kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin inilah yang paling membutuhkan uluran tangan pemerintah.
Ketika pemerintah merancang berbagai program stimulus fiskal untuk mereka yang termasuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin banyak pujian datang. Program ini bertujuan untuk membantu rakyat miskin dan rentan miskin yang terkena dampak kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Menurut Bank Dunia pandemi Covid-19 akan menambah jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang.
Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai 3,4 triliun dolar AS.
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan dua paket stimulus ekonomi yang bernilai Rp 405,1 triliun bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Di antaranya adalah pembagian sembako dan keringanan pembayaran listrik. Beragam stimulus ini diberikan untuk menjaga daya beli selama masa pandemi.
Seperti program stimulus ekonomi untuk warga miskin yang selama ini pernah dijalankan pemerintah, masih banyak warga miskin dan rentan miskin yang tidak tersentuh paket stimulus senilai Rp 405,1 triliun tersebut.
Karyawan dengan fixed income seperti saya dan suami justru mendapatkan jatah pembagian sembako untuk warga terdampak Covid-19. Sementara seorang tetangga yang berprofesi sebagai pengemudi ojek daring dan tinggal di kontrakan petakan tidak masuk dalam daftar mereka yang berhak mendapatkan bantuan sembako tersebut.
Pemerintah telah menaikkan jatah penerima kartu sembako murah dari 15,2 juta penerima menjadi 20 juta penerima manfaat. Hal ini dilakukannya untuk mengurangi dampak perekonomian akibat pandemi Corona Covid-19 terlebih bagi masyarakat kelas bawah.
Tidak hanya itu, nilai kartu sembako tersebut juga naik dari sebelumnya sebesar Rp 150 ribu menjadi Rp 200 ribu per bulan. Nilai manfaat kartu sembako sebesar Rp 200 ribu per bulan ini akan diberikan selama 9 bulan.
Tak hanya memberikan stimulus berupa sembako, pemerintah melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memberikan insentif berupa pembebasan tarif listrik bagi pelanggan listrik 450VA dan diskon 50 persen bagi pelanggan listrik 900VA bersubsidi.
Sayangnya, masih banyak pelanggan listrik 900VA bersubsidi yang tidak tercatat resmi di database PLN sehingga mereka tidak bisa ikut menikmati diskon tarif listrik sebesar 50 persen. Bagaimana bisa mereka tidak tercatat resmi di database pelanggan PLN?
Mereka yang masuk kategori ini bukanlah pelanggan yang menikmati aliran listrik dengan cara mencatut atau mencuri. Mereka adalah penghuni kontrakan petakan dan mayoritas memiliki penghasilan tidak tetap setiap bulannya dari hasil mereka bekerja sebagai sopir angkot, berdagang nasi goreng keliling maupun buruh bangunan.
Meski pemilik kontrakan petakan tersebut terdaftar sebagai pelanggan listrik 900VA nonsubsidi, apakah para penghuni kontrakan petakan yang berpenghasilan tidak tetap ini tidak berhak mendapatkan diskon 50 persen tersebut?
Lagi-lagi dua kasus penyaluran program stimulus untuk warga tak mampu ini kembali terulang karena buruknya sistem pendataan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah perlu memperbaiki proses pendataan angka kemiskinan di lapangan sehingga berbagai program yang menyangkut rakyat miskin dan rentan miskin bisa tepat sasaran di masa-masa mendatang.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id