REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia masih konsisten di atas 300 orang per hari. Dalam tiga hari terakhir misalnya, sejak Rabu (6/5) sampai Jumat (8/5), penambahan kasus positif Covid-19 berturut-turut sebanyak 367 orang, 338 orang, dan 336 orang setiap harinya. Bahkan pada Selasa (5/5) lalu, penambahan kasus mencatatkan rekornya, sebanyak 484 orang dalam satu hari.
Masih tingginya penambahan kasus positif Covid-19 menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah harus mempertaruhkan kondisi perekonomian nasional yang terus melambat akibat pandemi Covid-19. Tak sedikit perusahaan yang kesulitan menjaga kesehatan keuangannya, sehingga terpaksa memangkas jumlah karyawan.
Bila penularan Covid-19 tak bisa dengan cepat ditekan, sampai kapan ekonomi Indonesia tertekan?
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah, termasuk presiden dan para menteri, terus mengamati data perkembangan penanganan Covid-19 setiap harinya. Data-data ini, termasuk data penambahan kasus positif Covid-19, menjadi dasar pemerintah dalam mengambil kebijakan.
"Jadi kalau kemudian datanya seperti yang diharapkan oleh presiden kalau Mei sudah melihat dan sudah terjadi adanya perkembangan yang membaik, yakni plateauing atau melandai atau menurun, maka policy-nya juga di-adjust," ujar Sri, Jumat (8/5).
Artinya, menurut Sri, kondisi ekonomi nasional dalam beberapa bulan ke depan sangat bergantung pada penanganan Covid-19 ini. Kebijakan perekonomian, termasuk pembatasan ruang gerak sosial, bisa berubah seiring dengan perkembangan kasus Covid-19. Bila angka penularan terus menurun, tentu menjadi peluang bagi pemerintah untuk mulai menggenjot roda perekonomian.
"Kalau ternyata tidak (menurun), komunikasi dan kampanye dari pemerintah sangat konsisten. Kita minta semua rakyat ikut menjaga. Karena kalau ada sekelompok atau sebagian yang tidak ikut menjaga, itu virusnya enggak cuma terkena di mereka, dia melebarnya ke mana-mana," ujar Menkeu.
Sri menambahkan, pertanyaan sampai kapan ekonomi Indonesia tertekan hanya bisa dijawab secara bersama-sama oleh masyarakat. Pemulihan ekonomi, ujar Sri, sangat bergantung kerja keras pemerintah bersama masyarakat untuk berbarengan menjaga dan menekan angka penularan.
"Begitu data menunjukkan adanya perkembangan positif, berarti adjustment dari policy harus dilakukan. Tapi kalau memang belum, ya pasti kita tidak akan menukangi datanya kan. Semuanya ikut harus berpartisipasi," kata Sri.

Pemerintah Indonesia, ujar Menkeu, tak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Termasuk keputusan untuk membuka kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan sejumlah daerah. Kebijakan mengenai hal ini, ujarnya, bergantung pada perkembangan data yang ada.
"Jangan lupa di semua negara dilakukan adjustment. Ada yang sudah tidak sabar karena ekonominya terpukul sangat besar kemudian mereka buru-buru membuka, habis itu mereka nyesel tutup lagi. Kan hal itu yang tidak kita inginkan," jelasnya.
Dalam memulihkan ekonomi nasional pun, kata Menkeu, pemerintah tidak akan mengesampingkan kesehatan dan kemanusiaan masyarakat. Artinya, apapun kebijakan pemerintah nanti harus saling terikat dan seimbang antara kesehatan, kemanusiaan, dan kegiatan ekonomi yang nantinya bisa dipulihan secara berangsur.
"Langkah inilah yang dijadikan pedoman bagi presiden kabinet dan kita semua untuk terus melakukan evaluasi," katanya.
Seperti diketahui, ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 2,97 persen di kuartal I 2020. Angka ini jauh melambat dibanding capaian pertumbuhan pada kuartal IV 2019 lalu sebesar 4,97 persen. Kinerja ekonomi di kuartal ketiga 2020 diprediksi belum akan pulih mengingat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlaku untuk banyak daerah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 ini masih lebih baik ketimbang negara lain di dunia. Seperti diketahui, ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 2,97 persen di kuartal I 2020. Angka ini jauh melambat dibanding capaian pertumbuhan pada kuartal IV 2019 lalu sebesar 4,97 persen.
"Turun delta (selisih) 2 persen. Lebih lambat dibandingkan pertumbuhan di kuartal IV 2019," ujar Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas di Istana Merdeka, Rabu (6/5).
Kendati terkoreksi cukup jauh, namun presiden meyakini bahwa perekonomian nasional masih lebih baik dibanding negara-negara lain yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19. Jokowi pun menyajikan data-data pertumbuhan ekonomi negara lain yang justru tumbuh minus pada kuartal I tahun ini.
"Cina turun dari 6 persen menjadi -6,8 persen. Artinya, ini deltanya (selisih penurunan) 12,8 persen. Prancis deltanya 6,25 persen. Menuju minus. Hong Kong delta 5,9 persen, Spanyol delta 5,88 persen. Italia delta 4,95 persen tumbuh negatif," ujar Jokowi.
Ekonomi Indonesia pada triwulan pertama 2020 tumbuh 2,97 % year on year, lebih lambat dibandingkan kuartal empat 2019 yang 4,97 %.
Walaupun hanya 2,97 %, tapi kalau dibandingkan negara lain yang telah merilis angka pertumbuhannya, kinerja ekonomi negara kita relatif masih baik. pic.twitter.com/SjrxVPIqoa
— Joko Widodo (@jokowi) May 7, 2020