REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai, penerapan tindakan pengamanan atau safeguard untuk produk garmen harus dilakukan. Hal ini demi menjaga pasar garmen dan tekstil di dalam negeri.
Selama ini, produk garmen impor terus membanjiri pasar Indonesia, sehingga membuat industri sektor garmen dan tekstil, khususnya Industri Kecil Menengah (IKM) khawatir. Data Kemenperin menunjukkan, sejak 2015 hingga 2019 impor garmen terus meningkat, pada 2015 nilainya sebesar 7,31 miliar dolar AS, lalu pada 2019 menembus 8,3 miiar dolar AS.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan, pemberlakuan safeguard harus didukung, baik oleh pemerintah, asosiasi, serta para pelaku usaha garmen.
"Kita harus susun bersama. Semua akan bergandengan tangan mewujudkan safeguard ini," kata dia dalam webinar pada Sabtu, (9/5).
Menurutnya, IKM garmen harus dilindungi karena berperan besar pada perekonomian nasional. Kontribusi sektor tersebut terhadap Produk Domesti Bruto (PDB) mencapai 5,4 persen pada 2019.
Ia menyebutkan, ada beberapa hambatan yang membuat industri tekstil Tanah Air terganggu. Di antaranya bea masuk yang lebih liberal dan produk garmen yang belum dikenakan instrumen trade remedies.
"Kita perlu membentuk instrumen trade remedies ini. Nanti akan kita susun safeguard," kata Gati.
Dirinya melanjutkan, sekarang merupakan waktu yang tepat menyusun kebijakan safeguard. Dengan begitu setelah Covid-19 berakhir dan kondisi kembali normal, safeguard sudah bisa dijalankan.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum API Chandra Setiawan mengatakan, penerapan safeguard atau anti dumping dibolehkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selama ini, kata dia, banyak aturan di dalam negeri yang lebih mengutamakan impor.
"Kita sudah punya kawasan berikat, pusat logistik berikat, jadi importasi kita banyak difasilitasi. Hanya saja kebijakan penggunaan produk dalam negeri belum ada, misal lebih murah pajaknya," jelas dia.