REPUBLIKA.CO.ID, Kampung Mu’tah, pada masa Rasulullah SAW menjadi salah satu saksi penting sejarah perkembangan Islam. Mu‘tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa yang ada di tepi Sungai Jordan ini, kini masuk dalam provinsi Kerak wilayah Yordania. Mu’tah saat ini merupakan wilayah yang semarak dengan deretan pohon pinus di sepanjang jalan.
Di dekat kampung ini, terjadi peperangan antara bangsa Arab yang sudah memeluk Islam dengan aliansi bangsa Arab pemeluk Nashara dan Bangsa Eropa. Bahkan, beberapa literatur menyebutkan, perang ini adalah perang pertama umat Islam melawan bangsa Barat.
Perang ini terjadi pasca-Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah mengirimkan delegasi ke berbagai kawasan untuk menyampaikan pesan damai agama Islam melalui surat yang ditulisnya. Salah satu delegasi dikirim pada Gubernur Bashrah, Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani, yang sat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Romawi Bizantium.
Namun, kedatangan delegasi Harits bin Umair al-Azdi, tak hanya ditolak Syurahbil. Tapi, juga dibunuh dengan kejam. Tentu saja, tindakan ini dianggap sebagai deklarasi perang terhadap kaum Muslimin Madinah.
Maka, pada tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah menyiapkan pasukan yang jumlahnya 3.000 untuk menyerang Bashrah. Pada perang ini, Rasulullah tidak turut serta dan tetap berada di Madinah.
Sebelum berangkat, Rasulullah memberi instruksi kepada para pasukan. Pemimpin pasukan adalah Zaid bin Haritsah. Jika dia terbunuh, penggantinya adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah. Dan jika dia terbunuh juga, maka pasukan Muslimin harus menunjuk salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin.’’
Selain instruksi itu, Rasulullah juga menginstruksikan kepada mereka untuk tetap mengedepankan pesan damai dan mengajak penduduk setempat untuk mengikuti kebenaran. Jika mereka menolak, itu tidak masalah. Tapi, jika mereka menolak dan bergabung bersama pasukan Bashrah, berarti mereka layak diperangi.
Pergerakan kaum Muslimin Madinah diketahui Syurahbil bin Amr, penguasa Bashrah. Ia pun menyiapkan pasukan sebanyak 100 ribu personel bangsa Arab yang terdiri atas klan-klan Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra.
Jumlah ini masih ditambah lagi dengan pasukan Romawi, yang juga berjumlah 100 ribu personel. Dengan demikian, total pasukan yang hendak berperang melawan pasukan kaum Muslimin mencapai 200 ribu personel.
Pasukan kaum Muslimin yang mendengar berita soal besarnya jumlah pasukan musuh, sempat ragu dan khawatir. Sebagian mereka berpikiran untuk mengirimkan surat kepada Rasulullah, memberitahukan situasi yang dihadapi.
Namun, panglima pasukan Muslim Zaid bin Haritsah mampu membakar semangat pasukannya, sehingga tetap teguh maju ke medan pertempuran. Wahai semuanya, demi Allah, apa yang tidak kalian sukai, justru itulah yang kalian cari sekarang ini, yakni mati syahid.
Kita memerangi musuh bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah pasukan yang besar. Kita memerangi mereka karena agama ini, yang dengannya Allah memuliakan kita. Karena itu, marilah kita semua maju. Kita pasti akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: menang atau mati syahid!
Tepat pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 Hijriah, dua pasukan pun bertemu di Mu’tah. Seperti yang diinstruksikan Rasulullah, awalnya Zaid bin Haritsah yang tampil memimpin pasukan. Namun, sebuah ujung tombak tiba-tiba menghujam tubuhnya, menjadikannya gugur dalam kondisi syahid.
Kepemimpinan pun berpindah ke tangan Ja’far bin Abi Thalib. Namun, heroisme Ja’far berakhir ketika sebilah pedang pasukan Romawi menyabet tubuhnya, disusul kemudian dengan sabetan-sabetan pedang lainnya. Tak kurang dari lima puluh sabetan mengenai tubuhnya. Dia pun gugur sebagai syahid, menyusul Zaid.
Kepemimpinan pun, kemudian beralih ke tangan Abdullah bin Rawahah. Namun, beliau juga gugur menyusul Zaid dan Ja’far.
Seperti dipesankan oleh Rasulullah, jika ketiga pemimpin itu gugur, kaum Muslimin harus menentukan pemimpin mereka sendiri. Akhirnya mereka sepakat menunjuk Khalid bin Al Walid sebagai pemimpin.
Khalid bin Al Walid, sebelumnya adalah panglima perang pasukan musyrikim Makkah yang mengalahkan pasukan Muslim Madinah dalam Perang Uhud. Namun, Khalid akhirnya masuk Islam dan mengucapkan janji setia pada Rasulullah SAW
Kepemimpinan Khalid bin Al Walid dalam pertempuran Mu’tah itu, mampu membalikkan situasi yang tadinya menekan pasukan Muslim. Dengan jumlah pasukan yang kalah jauh, Khalid membuat strategi memecah pasukan Muslimin menjadi dua sayap. Ketika malam tiba, masing-masing sayap pasukan Muslimin menempati posisi yang ditentukan. Pagi harinya, dua sayap itu menyerang musuh secara berbarengan.
Serangan tiba-tiba dari dua arah ini, ternyata membuat pasukan musuh terkejut. Mereka mengira, pasukan kaum Muslimin mendapat tambahan pasukan. Sebelum mereka menyadari apa yang sebenarnya terjadi, pasukan Muslimin berhasil menghancurkan dan memukul mundur pasukan musuh.
Namun, melihat pasukan musuh mundur, Khalid menginstruksikan pasukannya untuk tidak melakukan pengejaran. Namun, berbalik mundur ke Madinah. Pertimbangan Khalid adalah karena bila pasukan musuh menyadari strategi yang dilakukan pasukan Muslim, maka pasukan musuh akan kembali menyerang mereka dengan kekuatan penuh.
Di Madinah, berita pasukan Muslimin yang berhasil memukul mundur musuh membuat Rasulullah dan kaum Muslimin begitu bersuka cita. Namun, sebagian kaum Muslimin merasa kecewa, karena pasukan Muslimin yang mestinya mengejar musuh malah kembali ke Madinah. Sebagian mereka menyambut pasukan Khalid dengan kata-kata sinis.
Mendengar ucapan itu, Rasulullah segera memotong, Mereka sama sekali bukan orang-orang yang melarikan diri dari medan perang. Mereka insya Allah adalah orang-orang yang pulang dan akan kembali berperang.
Meski pertempuran antara dua pasukan ini digambarkan sangat sengit, namun dilaporkan hanya 12 orang dari pasukan kaum Muslimin yang terbunuh. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak. Sengitnya pertempuran, dibuktikan oleh kesaksian Khalid bin Walid yang menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, yakni pedang buatan Yaman
Mengenai perang Mu’tah ini, Allah berfirman: Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’.’’ (al-Baqarah (2): 249)
Perang Mu’tah ini menggambarkan bagaimana progresivitas Islam begitu terlihat. Tanpa ragu sedikit pun, kaum Muslimin berangkat menuju ke Mu’tah untuk menyerang pasukan Bashrah dan Romawi, karena mereka telah mendeklarasikan perang dengan cara yang sangat keji.
Dipukul mundurnya pasukan Romawi dalam perang Mu’tah ini, dikabarkan telah membuat Kaisar Romawi, Heraklius, menjadi depresi. Ia tidak menyangka bangsa Arab akan mampu bertindak sejauh itu. Perang ini juga membuatnya sadar bahwa kekuatan Islam benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.