Rabu 27 May 2020 07:48 WIB

Para Ilmuwan Berperang Melawan Informasi Palsu Terkait Covid

Para ilmuwan telah mendeskripsikan klaim palsu yang tersebar luas tersebut.

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Obat Chloroquine hingga kini masih jadi perdebatan sejumlah kalangan terkait pemaikaiannya untu mengobati covid 19. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Obat Chloroquine hingga kini masih jadi perdebatan sejumlah kalangan terkait pemaikaiannya untu mengobati covid 19. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BERN — Para ilmuwan berusaha untuk berperang melawan informasi keliru yang beredar di dunia maya tentang infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Salah satunya adalah Matheu Rebeaud, seorang peneliti biokimia yang berbasis di Swiss.

Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, Rebeaud kerap memberikan penjelasan tentang penelitian ilmiah terbaru yang bertujuan memerangi informasi salah tentang virus. Para ilmuwan telah mendeskripsikan klaim palsu yang tersebar luas tersebut sebagai infodemik, yang juga dinilai dapat menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. 

“Dalam kasus pandemi Covid-19, teori konspirasi memberikan penjelasan yang lengkap, sederhana, tampaknya rasionalistik dan kedap air. Ini sangat kontras dengan pengetahuan ilmiah yang tersedia, kompleks, terfragmentasi, dapat diubah dan diperebutkan,” ujar Kinga Polynczuk-Alenius, seorang peneliti Universitas Helsinki, dilansir India Today,  Selasa (26/5). 

Pada Februari lalu, jurnal medis Inggris The Lancet  mengatakan, penyebaran informasi secara cepat menjadi apa yang dibutuhkan orang-orang pada masa pandemi seperti saat ini, di mana mereka rentan merasa tidak adanya kepastian atas situasi dan kondisi dunia. Ini termasuk identifikasi kasus yang transparan, berbagi data dan komunikasi tanpa hambatan, serta penelitian sejawat.

Namun, studi dan publikasi ilmiah yang keras dan berat, bersaing dengan kedekatan media sosial dan publik yang sering menuntut jawaban tegas dan pasti. Jean-Francois Chambon, seorang dokter sekaligus direktur komunikasi di Institut Pasteur di Paris mengatakan, tidak punya pilihan selain menolak video yang dibagikan secara luas pada Maret lalu berisi tuduhan bahwa lembaga tempatnya bekerja telah menciptakan virus corona jenis baru.

"Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan prasangka kebohongan," kata Chambon.

Institut Pasteur membuat halaman website yang didedikasikan untuk mendidik masyarakat tentang virus corona jenis baru. Lembaga tersebut saat ini memiliki 16.000 pelanggan baru per bulan di jaringan media sosial dibandingkan sebelum pandemi terjadi, dengan hanya 4.000 pelanggan. 

Jean-Gabriel Ganascia, ketua komite etika di Pusat Nasional Penelitian Ilmiah Prancis, setuju bahwa komunitas ilmiah harus melakukan serangan balik. Awal bulan ini, Palang Merah Dunia meluncurkan apa yang disebut sebagai jaringan global pertama dari pengaruh media sosial untuk memerangi informasi yang salah dan menyebarkan konten yang menyelamatkan jiwa tentang pandemi COVID-19.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menandatangani perjanjian dengan jejaring sosial Facebook untuk mengirimkan informasi secara langsung kepada pengguna melalui layanan pesan pribadi. Ahli mikrobiologi Belanda Elisabeth Bik tweeted ringkasan satu kalimat dari studi luas tentang efek obat antivirus chloroquine dan hydroxychloroquine pada pekan lalu. 

Para ilmuwan yang terlibat dalam debat ingin memalsukan ‘budaya sains’ di antara masyarakat untuk membantu mereka memahami apa yang mereka dengar dan baca. Daripada hanya memaksakan pandangan otoritas terkemuka tanpa penjelasan apa pun, mereka bertujuan membantu orang memahami bagaimana sains bekerja termasuk kebutuhan untuk studi untuk mematuhi peraturan dan standar.

Beberapa ilmuwan telah menyerukan peninjauan pendidikan sains sehingga masyarakat memahami informasi palsu. Kampanye informasi tidak dapat dianggap sebagai penangkal eksklusif untuk melawan berita-berita tidak benar yang beredar. 

sumber : indiatoday
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement