REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemuda menggelar rapat-rapat rahasia. Ulama memberikan ceramah-ceramah terselubung. Begitulah upaya mempertahankan kemerdekaan di Masjid Angke pada masa Revolusi Fisik 1945.
Masjid Angke atau Masjid Jami Al-Anwar merupakan salah satu masjid tua di Jakarta. Lokasinya di Jalan Pangeran Tubagus Angke (dulu Bacherachtsgracht) RT 01/RW 05, Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Menurut sejarawan Belanda Dr. F. Dehaan lewat bukunya "Oud Batavia" (dalam Zein, 1999:142-143), Masjid Angke didirikan pada hari Kamis 25 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761. Pendirinya adalah perempuan keturunan China yang kaya dari suku Tarta. Ia bersuamikan pria asal Banten.
Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia (1999) mengatakan, Masjid Angke berdiri di atas tanah seluas 400 meter (m) dengan bangunan seluar 15 m x 15 m. Meski terbilang kecil, tapi arsitekturnya unik dengan memadukan gaya bangunan Belanda, Banten Kuno, dan China.
Di bagian belakang masjid, terdapat beberapa makam. Salah satunya makam Syekh Syarif Hamid al-Qadri yang berasal dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Syekh Syarif, tulis Zein, dibuang ke Batavia oleh Belanda pada 1800-an karena melakukan pemberontakan.
Rapat-rapat Rahasia
Seusai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Masjid Angke semakin mengukuhkan perannya dalam perjuangan kemerdekaan. Masjid itu jadi tempat pertemuan rahasia para pemuda pejuang kemerdekaan.
Situasi Jakarta usai proklamasi masih bergejolak. Serdadu Belanda masih menyerang. Untuk menentangnya, tulis Zein, para pemuda mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia di Masjid Angke. Mereka merumuskan strategi menghadapi serdadu kompeni.
"Rapat-rapat rahasia itu dilakukan seusai shalat, sehingga tak terdeteksi oleh Belanda," kata Ketua Bidang Sarana dan Sejarah Kepengurusan Masjid Angke Mohammad Abyan Abdilah, kepada Republika, Ahad (31/5).
Untuk memastikan rapat-rapat rahasia itu tak terdeteksi, kata Abyan, ruangan lantai tiga (menara), yang dulunya digunakan sebagai tempat azan, dialihfungsikan sebagai tempat mengintai kedatangan serdadu Belanda. Tempat itu sangat cocok jadi titik pengintaian karena ukurannya kecil (2 m x 2 m) dan tak terlihat dari luar masjid. Yang terpenting, tempat itu berada di ketinggian.
"Memang dulu tahun 1980-an, saya masih bisa melihat sampai ke pesisir pantai utara dari lantai 3 itu karena belum banyak bangunan tinggi. Sunda Kelapa itu masih terlihat," kata Abyan yang lahir tahun 1974 itu.
Di Masjid Angke, semangat pemuda dalam mempertahankan kemerdekaan semakin bergelora karena adanya para ulama. Mereka diberikan motivasi ataupun ceramah untuk terus berjuang. "Ulama memotivasi pemuda itu dengan ceramah tertutup atau terselubung agar tak ketahuan," kata Abyan.
Gerakan perlawanan dari Masjid Angke terbilang rapi. Kegiatan dan aksi mereka tak tercium oleh Belanda. Oleh karena itulah, Masjid Angke bisa selamat dari serbuan tentara Belanda.