REPUBLIKA.CO.ID, WASHINTON -- George Floyd yang menjadi korban kebrutalan polisi Amerika Serikat dinyatakan positif virus Covid-19. Laporan autopsi yang dikeluarkan pada Rabu (3/6) menunjukkan Floyd dinyatakan positif beberapa pekan sebelum kematiannya.
Laporan autopsi 20 halaman ini dikeluarkan pejabat pemeriksa di pelayanan medis Hennepin County Minnesote. Floyd disebutkan positif Covid-19 pada 3 April lalu berdasarkan analisis kode genetik virus atau RNA.
Autopsi menyebutkan RNA masih akan tinggal di tubuh seseorang beberapa pekan setelah penyakit itu hilang. Karena itu, tes kedua yang menyatakan Floyd positif menyiratkan bahwa dia tak punya gejala dari infeksi terdahulu ketika meninggal pada 25 Mei.
Kepala pemeriksa medis dokter Andrew seperti dilansir CNN mengatakan, tes yang dipakai dalam autopsi disebut PCR. Tes dapat menunjukkan hasil positif selama beberapa pekan setelah paparan virus. Hasilnya menunjukkan gejala asimtomatik. Artinya, virus itu tidak berperan dalam kematian Floyd.
Gelombang aksi protes atas kematian Floyd meluas di berbagai kota AS dan dunia. Floyd ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, Floyd diborgol dan tidak memberontak dalam penangkapan tersebut. Namun, polisi mengeklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap.
Seorang perwira polisi, Derek Chauvin, menekan lututnya di bagian leher Floyd hingga dia tak bisa bernapas. Sementara itu, berdasarkan rekaman video, dua polisi lainnya menekan lutut mereka di bagian punggung Floyd. Dia dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tak tertolong. Kematian Floyd ini merupakan kasus terbaru dari kebrutalan polisi terhadap pria kulit hitam yang tertangkap dalam rekaman video.
Hal ini memicu protes atas rasisme dalam penegakan hukum AS. Insiden baru ini juga menghidupkan kembali ketegangan rasial yang membara di sebuah negara yang terpecah secara politis yang telah terpukul oleh pandemi corona dengan orang Afrika-Amerika menyumbang jumlah kasus yang sangat tinggi.
Kematian Floyd memiliki kemiripan dengan kematian Eric Garner, yang meninggal dalam sebuah penangkapan pada 2014 di New York. Ketika itu, Garner berulang kali mengatakan kepada polisi, "Saya tidak bisa bernapas."