Jumat 05 Jun 2020 08:59 WIB

Abdullah bin Umar Selalu Menolak Jabatan

Meski selalu ditawarkan jabatan, Abdullah bin Umar selalu menolak.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Abdullah bin Umar Selalu Menolak Jabatan. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi
Foto: MgIt03
Abdullah bin Umar Selalu Menolak Jabatan. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Kendati berulang kali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, Abdullah bin Umar menolaknya. Hasan RA meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"

Namun, Ibnu Umar menyahut: "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku." Massa di luar mengancam: "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"

Baca Juga

Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.

Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka. "Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran. "Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang. Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."

Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya. Lantas apa yang kita lakukan terhadap orangorang bagian timur? Kita gempur mereka sampai mau berbaiat. "Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar.

Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan: Siapa yang berkata, 'marilah shalat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju keba hagiaan' akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'marilah mem bunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka saya katakan, tidak!

Berkatalah Abul 'Aliyah al-Barra: Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: 'Mereka letakkan pedangpedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: Hai Abdullah bin Umar ikut lah dan berikan bantuan . sungguh sangat menyedihkan.

la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi ternyata tidak mengizinkan, oleh sebab itu dijauhinya. Sebe tulnya hati kecilnya berpihak ke pada Ali. Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri.

Namun, adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah. Serta menghindari peperangan yang terjadi. Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi': Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan sahabat Rasulullah SAW. Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak? mak sudnya membela Ali.

Maka ujarnya: Sebabnya ialah kare na Allah Ta'ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim. Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah. (QS 2 al-Baqarah: 193). Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah, tetapi sekarang apa tujuan kita berperang.

Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjid al-Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab, Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement