REPUBLIKA.CO.ID, oleh Asma Nadia*
Sejak rencana akad dan resepsi pernikahan digelar sekitar enam bulan lalu, dengan mata cahaya, beberapa kali kau bertanya padaku.
“Apah Bunda akan menangis ketika Caca menikah?”
Usiamu dua puluh tiga tahun. Lulus dari fakultas hukum UI dua tahun lalu. Sudah bekerja dan lebih dari siap –insya allah untuk menikah.
Kalau ditelisik pertanyaanmu lucu. Kadang mengingatnya membuatku tersenyum. Selain restu dan kemudahan yang diharapkan seorang anak, saat menyampaikan ‘proposal’ pernikahan, termasuk identitas calon, ternyata air mata seorang ibu di hari pernikahan putrinya, bermakna. Begitu penting, hingga sambil bergurau, kau sampaikan, jika bunda tak menangis di hari pernikahan ini, maka tidak boleh ada air mata ketika nanti adikmu pun menikah. Hubungan kalian berdua erat, tentu bukan karena tak sayang maka kalimat canda itu dilontarkan.
Rencana awal akad nikah secara outdoor, berlanjut resepsi pernikahan di sebuah gedung yang mampu menampung 400-600 orang. Sebuah WO telah sejak lama menawarkan jasa mereka, siap memberikan dukungan penuh karena cinta. Sederet pertemuan pun dilakukan untuk membahas segala sesuatu dengan rinci. Undangan sudah didesain, siap untuk dicetak. Catering telah dicicipi dan dipilih. Beberapa vendor yang menawarkan busana mempelai, MUA, juga foto dan video, bahkan souvenir semua telah direncanakan.
Saya menikmati hari itu saat bersama Nini-ibu dari suami, juga pamanmu dan calon besan, memilih gaun pengantin untuk kalian kenakan. Ada air mata menitik, haru… bahkan tanpa kau pinta yang hari itu sebisanya Bunda sembunyikan.
Persiapan demi persiapan terus dimatangkan. Sampai tahun berganti tak ada rencana yang berubah, hingga Corona tiba dan wabahnya merebak.
Bunda bisa membayangkan sedih dan kecewa di hatimu, dan calon. Juga keluarga besar. Padahal di satu sisi, kebesaran hati dan cadangan kesabaran berlimpah pasti kalian dan kita semua butuhkan menghadapi banyaknya perubahan yang terpaksa harus diterima. Termasuk jarak yang memisahkan. Kamu dan calon sudah berbulan melakukan swa karantina penuh, bahkan tanpa kunjungan lebaran ke keluarga besar masing-masing. Kerja yang harus dilakukan di rumah dengan situasi yang tidak selalu mendukung, rasa bosan dan jenuh, juga banyak keterbatasan lain.
Belum berbagai perasaan yang berkecamuk melihat kasus yang terus melonjak, teman dan sesama yang kehilangan pekerjaan bahkan ditinggal pergi orang tua juga sanak keluarga yang mereka cintai selamanya - sebab terkena covid-19. Berbagai rasa was-was dan panik.
Rencana akad dan resepsi kemudian harus diundur ke bulan November. Ini batasan terjauh yang memungkinkan dari pihak gedung. Wallahu alam, semua tetap berharap dan berdoa ketika tiba waktunya nanti, kondisi sudah memungkinkan.
Belakangan rencana akad nikah kemudian diteruskan, di rumah saja, tanpa tamu undangan, tanpa kehadiran sanak keluarga sama sekali. Wajah-wajah yang pasti sama bersedihnya seperti dirimu sebab tidak bisa menyaksikan momen bahagia itu, hanya bisa mengiringi dengan doa dari jauh.
Bagi Nini dan Oma serta Opa, kamu adalah cucu pertama yang menikah. Bayangkan mereka kehilangan momen itu. Juga oom dan tante- saudara dari ayah dan bunda yang tidak bisa hadir menyaksikan keponakan mereka yang paling perhatian kepada para sepupunya- menikah. Perasaan yang sama pasti menghinggapi keluarga calonmu.
Segala sesuatu berubah total, serba minimalis. Dalam waktu singkat persiapan dilakukan. Alhamdulillah WO yang sejak awal mendampingi tetap menuntun persiapan, juga beberapa vendor. Gaun pengantin tetap disediakan sebuah sanggar. Teman MUA langganan setia tetap men-support dengan protokol penuh. Teman fotografer dan videographer pun menunjukkan support. Satu jasa dekor pernikahan pun memberi dukungan.
Dekor dibuat serius, satu untuk pelaminan dan satu untuk photo booth, dan menolak imbalan sama sekali. Meski kami pun tak tega di era krisis seperti ini untuk menerima serba gratisan. Sadar semua terdampak, semua dalam kesulitan. Ini saatnya saling mendukung,
“Tidak apa bunda, ini kado kami buat Caca.”
Subhanallah. Ini pastilah janji Allah, bersama kesulitan ada kemudahan. Di saat berbagai hal terasa menghimpit dada. Saya yang awalnya bingung dengan kebutuhan kue dan hantaran untuk balasan calon besan, pun terbantu jasa ibu-ibu di perumahan yang ternyata luar biasa. Ustadz yang dulu menikahkan saya dan suami pun berkenan hadir dan memberikan khutbah nikah. Allah Maha Baik.
Jadi tepat ketika resonansi ini dimuat, kau putriku akan melangsungkan akad nikah. Dengan busana pengantin seperti yang diidamkan. Pelaminan yang dihias sedemikian rupa agar walau di rumah semoga dirimu merasa seperti putri sehari.
Foto dan video siap mengabadikan kenangan. Terbayang mempelai pria yang gondrong sebab lama tak potong rambut. Terbayang akad di mana kami semua mengenakan masker dan menjaga jarak, lalu penampakan botol sanitizer besar di mana-mana.Terbayang nasi kotak –alih-alih prasmanan yang kami siapkan. Semoga walau sederhana, tanpa tamu, tanpa sungkeman dan sentuhan fisik, berkah dan ridha Allah juga anugerah bagi dua mempelai, melimpah.
Terima kasih putriku, terima kasih telah berlapang dada menerima ini semua. Maafkan ayah bunda yang tak bisa memberi persembahan lebih baik di hari besarmu. Terima kasih telah menyimpan isak dan kesedihan juga segudang kecewa di hati dan tetap menyuguhkan senyum dan keceriaan selama persiapan sederhana. Terima kasih telah menjadi putri yang menjaga diri dan membanggakan selama ini.
Kembali ke pertanyaanmu di awal, apakah bunda akan menangis ketika akad nanti? Air mata yang saat ini membasahi wajah bunda namun belum kau mengerti, saat menuliskan resonansi ini, semoga menjawab pertanyaanmu.
Selamat mengarungi hidup baru gadis ‘kecil’, Bunda. Air mata bahagia dan selangit doa kami, insya allah mengiringimu.