REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Dede Aulia Rahman mengatakan hingga kini perhatian pada konservasi macan tutul Jawa atau Panthera Pardus Melas masih tergolong minim.
"Kalau kita lihat fakta dan realitas bahwa Macan Tutul Jawa sangat sedikit menerima perhatian konservasi dan bersaing secara lokal untuk kepentingan konservasi dengan spesies yang lebih karismatik," kata dia saat diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Selasa (9/6).
Sebagai contoh di Ujung Kulon orang-orang lebih banyak melakukan riset tentang Badak Jawa atau di tempat lain misalnya Baluran yang meneliti tentang banteng.
Padahal, ujar dia, spesies macan tutul Jawa juga memiliki peranan ekologi yang luar biasa bagi lingkungan termasuk manusia.
Tidak hanya berkaitan dengan predator puncak, namun satwa yang telah dilindungi sejak 1931 tersebut juga berhubungan dengan aspek ekonomi dan ilmu pengetahuan.
"Sadar tidak sadar kita dapat manfaat dari macan tutul terkait aspek wisata, ekowisata dan sebagainya," ujarnya.
Berdasarkan penelitian dari luar dengan kajian ilmiah di Sub Sahara Afrika menemukan bahwa kehilangan predator puncak yaitu singa dan macan tutul membawa dampak pada sisi kesehatan manusia.
"Ketika singa di sana hilang ada kecenderungan peningkatan spesies Olive Babon," kata anggota peneliti INRae, Comportement and Ecologie de la Faune Sauvage, Toulouse, Perancis tersebut.
Olive Babon atau Babon Zaitun pada suatu keadaan mencari sumber makanan baru di sekitar pemukiman warga. Akibatnya, membawa penyakit parasit usus terhadap masyarakat. "Ini perlu dibuktikan dan kita juga tidak mau terjadi di Indonesia," katanya.
Di Indonesia sendiri, ujarnya, riset terkait konservasi hewan endemik Jawa itu tergolong minim. Selama periode 2000 hingga 2020 tercatat hanya 26 hasil karya ilmiah yang dipublikasikan.
Bahkan dalam satu dekade terakhir hanya ada tiga makalah ilmiah tentang macan tutul Jawa yang diterbitkan dan dipimpin penulis Indonesia dalam jurnal peer-review bereputasi.