Jumat 12 Jun 2020 10:50 WIB

Surabaya Diingatkan tidak Terburu-buru Terapkan New Normal

Pemerintah daerah Surabaya Raya dan Malang Raya diminta mempertimbangkan syarat WHO.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yudha Manggala P Putra
Polisi melakukan penyekatan di pos pemeriksaan (check point) Bundaran Waru, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (26/5/2020).
Foto: ANTARA/DIDIK SUHARTONO
Polisi melakukan penyekatan di pos pemeriksaan (check point) Bundaran Waru, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (26/5/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, dr Joni Wahyuhadi, menyarankan daerah di Surabaya Raya dan Malang Raya untuk tidak terburu-buru menerapkan tatanan kenormalan baru (new normal). Joni mengingatkan, pemerintah daerah di wilayah tersebut harus benar-benar mempertimbangkan syarat yang diberikan World Health Organitation (WHO) dan tim gugus tugas pusat sebelum melangkah ke new normal.

"Jadi, kalau kondisinya tidak sampai tercapai pada kondisi new normal era, sebaiknya diperpanjang (masa transisi dari penerapan PSBB ke era new normal)," ujar Joni di Surabaya, Jumat (12/6).

Dirut RSUD dr Soetomo itu mengakui untuk mencapai syarat yang ditetapkan WHO dan tim gugus tugas pusat agar suatu daerah bisa menerapakan kenormalan baru tidaklah mudah. Baik bupati maupun wali kota harus bekerja keras. Jika pemda tidak kunjung memenuhi syarat yang ditetapkan, menurut dia, perpanjangan masa transisi bisa tanpa batas.

"Jadi, pada kondisi ini bupati atau wali kota harus bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai kondisi epidemologi dan sosial yang diisyaratkan WHO dan gugus tugas pusat," ujar Joni.

Tim gugus tugas pusat memberikan 15 syarat sebelum suatu daerah memasuki era tatanan normal baru. Di antaranya, penurunan laju penambahan pasien positif selama dua pekan terakhir, penurunan angka orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP), dan penurunan jumlah meninggal dari kasus positif, ODP, serta PDP selama dua pekan terakhir.

Kemudian, penurunan jumlah kasus positif, orang tanpa gejala (OTG), ODP, dan PDP yang dirawat. Lalu, kenaikan jumlah sembuh kasus positif. Kenaikan jumlah selesai pemantauan dan pengawasan. Penurunan laju pasien positif per 100 ribu penduduk. Kemudian, penurunan angka kematian per 100 ribu penduduk.

Terpenting, menurut Joni, rate of transmission atau tingkat penularannya bisa ditekan hingga di bawah satu. Lalu, jumlah tempat tidur di rumah sakit rujukan mampu menampung lebih dari 50 persen pasien positif. "Selanjutnya adalah angka pemeriksaan spesimen terus meningkat dalam seminggu terakhir," kata dia.

Sementara itu, syarat yang diberikan WHO lebih sedikit, yakni enam poin. Isinya di antaranya bukti penyebarannya yang sudah dinyatakan terkontrol. Tingkat penularannya harus di bawah satu. Kemudian, tesnya harus 3,5 per seribu penduduk. Kemudian, perlindungan terhadap populasi berisiko khusunya orang tua dan individu dengan penyakit komorbid.

Selain itu, penggunaan masker, cuci tangan, dan jaga jarak mutlak dilakukan seluruh masyarakat. Terakhir, melibatkan komunitas untuk tetap memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan ketat serta survei kondisi masyarakat secara periodik oleh lembaga independen.

"Jadi, kalau surveinya dari yang dipesen ya repot. Ini harus yang independen, tidak ada kepentingan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement