Sabtu 20 Jun 2020 12:15 WIB

Perlindungan HAM Bagi Petani Masih Terabaikan

petani kerap menjadi subyek pelanggaran HAM

Petani memupuk tanaman padinya yang berumur 15 hari di Garon, Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (11/6/2020). Pemupukan dengan pupuk tabur campuran tersebut merupakan pemupukan pertama pascatanam guna merangsang pertumbuhan dan kesuburan tanaman
Foto: Antara/Siswowidodo
Petani memupuk tanaman padinya yang berumur 15 hari di Garon, Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (11/6/2020). Pemupukan dengan pupuk tabur campuran tersebut merupakan pemupukan pertama pascatanam guna merangsang pertumbuhan dan kesuburan tanaman

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Membicarakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), kerap lekat dengan isu-isu demokrasi, perburuhan, konflik sosial-politik dan lainnya. Sementara, pertanian kerap kali menjadi isu yang seolah berada dalam dimensi lain yang tak bersinggungan dengan hukum dan HAM.

Padahal, petani kerap menjadi subyek pelanggaran HAM, khususnya jika terkait konflik lahan dan juga perdagangan bahan pangan yang sering kali jauh dari kata adil.

"Salah satu pilar dalam mewakili kedaulatan pangan adalah perdagangan yang adil.

Nyatanya, dalam membangun jalan bisnis, petani seringkali terabaikan hak-hak asasinya," kata Koordinator Program Koalisi Rakyat untu Kedaulatan Pangan (KRKP) Lily Batara, dalam diskusi online Obrolin Pangan #13, Jumat (19/6).

Dalam diskusi yang mengambil tema: "HAM Petani dalam Relasi Bisnis di Indonesia" itu, Lily mengatakan, hasil survei KRKP April lalu mengungkapkan, dari sisi harga, petani bahkan nyaris tak pernah mendapatkan harga yang berkeadilan.

"Dari 32 kabupaten yang disurvei, ternyata harga panen petani masih jauh di bawah standar HPP (harga pembelian pemerintah-red)," papar Lily yang bertindak sebagai moderator, membuka diskusi. 

Dari survei itu juga terungkap, keuntungan yang diterima petani sebagai produsen pangan, dalam rantai perdagangan pangan, ternyata jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diperoleh pengepul baik pengusaha penggilingan padi maupun distributor. Itu baru dari sisi harga. Belum lagi dari sisi lainnya, seperti penguasaan lahan misalnya.

Lily mengungkapkan, berdasarkan informasi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang masa pandemi Covid-19, terjadi sembilan kasus konflik agraria yang melibatkan petani dengan perusahaan selama periode Maret hingga Mei 2020.

"Artinya petani masih saja diabaikan hak-haknya dalam mengusahakan usaha pertaniannya atau dalam melakukan relasi bisnis," tegasnya.

Memantik diskusi lebih jauh, Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah mengatakan, masih diabaikannya HAM petani tampak dari masih "langgengnya" petani dalam strata kelompok marginal. Hal ini ditandai dengan masih tingginya tingkat kemiskinan petani di desa.

"Tingkat kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan bisa jadi ada yang salah dengan sistem perdagangan yang kita miliki hari ini, ada peran dari private sector terhadap sektor pertanian," papar pria yang akrab disapa Ayip itu.

Karena itu, kata Ayip, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, seberapa mungkin kita mampu mendorong implementasi HAM pada sektor pertanian.

"Kira-kira apa yang bisa kita siapkan? Prinsip apa yang perlu kita buat? Apakah strategi yang kami lakukan, mendorong forum stakeholder menjadi strategi yang sangat baik untuk mempercepat perlindungan dan pengawasan implementasi HAM di level praksis?" ujar Ayip.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement