Ahad 21 Jun 2020 04:35 WIB

Mengapa Gerhana Matahari Cincin Solstis 21 Juni Langka?

Gerhana matahari cincin kali ini langka karena terjadi terakhir pada 372 tahun lalu.

Warga setempat memotret gerhana matahari cincin (GMC) di Jabal Arba, Hofuf, Arab Saudi, beberapa waktu lalu. Sebagian wilayah akan bisa mengamati GMC solstis pada Ahad 21 Juni 2020.
Foto: Hamad I Mohammed/Reuters
Warga setempat memotret gerhana matahari cincin (GMC) di Jabal Arba, Hofuf, Arab Saudi, beberapa waktu lalu. Sebagian wilayah akan bisa mengamati GMC solstis pada Ahad 21 Juni 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian warga bumi bisa mengamati gerhana matahari cincin pada Ahad (21/6). Gerhana kali ini tergolong langka karena bertepatan dengan tanggal 21 Juni ketika matahari berada pada posisi paling utara terhadap katulistiwa langit ketika tengah hari sebelum akhirnya berbalik ke arah selatan.

Menurut peneliti Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Andi Pangerang, dikarenakan gerhana matahari cincin (GMC) pada Ahad ini bersamaan dengan solstis Juni, sehingga dinamakan GMC solstis. Fenomena ini terakhir kali terjadi pada 372 tahun lalu dan akan terjadi lagi 19 tahun ke depan.

"Cincin api solstis cukup langka dialami karena terjadi terakhir kali pada 21 Juni 1648 dan akan berulang lagi pada 21 Juni 2039 atau 19 tahun dari sekarang," kata Andi dalam rilis Lapan yang diterima Republika.co.id, Sabtu (20/6).

Andi mengungkapkan, wilayah Indonesia tidak dilalui jalur GMC. Sebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan hanya bisa mengamati gerhana matahari sebagian (GMS). Itu pun hanya di wilayah tertentu.

Gerhana sebagian, kata Andi, akan mengalami ketertutupan maksimum di Indonesia jika diamati dari Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. "Magnitudo gerhana di Miangas ketika puncak gerhana sebesar 56,52 persen dengan obskurasi atau ketertutupan piringan matahari akibat gerhana sebesar 46,21 persen," jelas Andi.

Kapan terjadi GMS ketika dilihat dari Miangas? Andi memaparkan, gerhana di Miangas dimulai pukul 15.22.23 WITA dari arah 24 derajat barat ke utara. Puncak GMS terlihat dari Miangas pada pukul 16.32.28 WITA dari arah 22 derajat barat ke utara dan berakhir pukul 17.32.34 WITA dari arah 23 derajat barat ke utara menjelang matahari terbenam.

"Durasi gerhana di Miangas akan berlangsung paling lama dibandingkan di wilayah Indonesia lainnya, yakni 2 jam 10 menit 11 detik," kata Andi.

Gerhana matahari terjadi ketika matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus dan bayangan bulan jatuh pada permukaan bumi. Adapun GMC terjadi ketika piringan bulan tampak sedikit lebih kecil dibandingkan piringan matahari saat melintasi piringan matahari.

Ujung bayangan gelap (umbra) bulan tidak jatuh di permukaan bumi sehingga terbentuk perpanjangan bayangan bulan yang disebut antumbra. Antumbra inilah yang jatuh ke permukaan bumi sehingga wilayah yang terkena antumbra akan mengalami GMC. Sedangkan wilayah di permukaan bumi yang terkena bayangan semu (penumbra) bulan akan mengalami GMS.

Saat solstis 21 Juni, durasi siang di belahan utama bumi akan lebih lama dibandingkan durasi malamnya. Untuk wilayah di lingkar kutub utara (lingkaran Arktik) akan mengalami matahari tengah malam (midnight sun). Sebaliknya, di belahan selatan bumi, durasi siangnya lebih pendek ketimbang durasi malamnya. Bahkan, di wilayah Antartika akan mengalami malam kutub (polar night) yang berarti tak ada cahaya matahari sama sekali pada hari itu.

Solstis utara ini menjadi penanda awal musim panas di belahan bumi utara dan awal musim dingin di belahan bumi selatan secara astronomis. Solstis utara tahun ini bertepatan pada 21 Juni 2020 pukul 04.43 WIB.

 

Wilayah yang dilalui GMC solstis, antara lain, Kongo bagian utara, Sudan Selatan, Ethiopia bagian utara, Eritrea, Yaman, sebagian Arab Saudi bagian timur, Oman, Pakistan bagian selatan, India bagian utara, Daerah Otonomi Tibet, China bagian selatan (Sichuan, Guizhou, Hunan, Jiangxi dan Fujian/Hokkien), China Taipei, dan berakhir di Kepulauan Guam.

Kepala Lapan Prof Thomas Djamaluddin menyebut GMC kali ini sejatinya tidak ada yang istimewa. "Media menyebut istimewa karena waktunya pada saat matahari mencapai titik balik utara (solstis) pada 21 Juni," kata Prof Thomas kepada Republika.co.id.

Di sebagian besar wilayah Indonesia, yang tampak hanya GMS dengan ketertutupan piringan matahari kurang dari 30 persen. "Bahkan, Sumatra bagian selatan serta Jawa bagian barat dan tengah sama sekali tidak terlihat gerhana," katanya.

Sholat gerhana

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Kamaruddin Amin mengatakan, warga Muslim yang tinggal di daerah tergolong aman penularan Covid-19 bisa menunaikan sholat gerhana atau sholat kusuf secara berjamaah.

Para imam, kata Amin, dapat menyampaikan khutbah mengenai anjuran berdzikir, berdoa, beristighfar, sedekah, dan hal baik lainnya dalam pelaksanaan sholat gerhana secara berjamaah. "Masyarakat juga dianjurkan membaca takbir, memperbanyak zikir, istighfar, sedekah dan amal-amal kebajikan lainnya. Jangan lupa berdoa agar wabah Covid-19 segera berakhir dan juga doa untuk keselamatan bangsa dan negara," katanya dalam rilis, Sabtu (20/6).

Sholat gerhana bisa dilakukan secara berjamaah di masjid atau sendiri di rumah. Waktu pelaksanaannya sesuai dengan waktu gerhana matahari di wilayah masing-masing.

Menurut peneliti Astronomi dan Astrofisika Lapan Rhorom Priyatikanto, GMS pada Ahad ini bisa disaksikan di 31 provinsi, utamanya di wilayah utara Indonesia. GMS di wilayah Sumatra bisa dilihat pukul 14.30-15.30 WIB dan di Sulawesi sekitar 30 menit setelahnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement