Selasa 23 Jun 2020 16:50 WIB

Kisah Abu Ubaidah bin Jarrah

Abu Ubaidah bin Jarah menjadi andalan Nabi saat berperang.

Rep: Febryan A/ Red: Muhammad Hafil
Kisah Abu Ubaidah bin Jarrah. Foto: Sahabat Nabi (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Kisah Abu Ubaidah bin Jarrah. Foto: Sahabat Nabi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Perawakannya tinggi tegap. Jika berperang ia jadi andalan. Namun yang paling menonjol adalah sikapnya yang terpercaya. Itulah sosok sahabat nabi, Abu Ubaidah bin Jarrah.

Ia menjadi sosok terpercaya karena dinyatakan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dikisahkan Muhammad ibn Ja'far dalam al-Basya, hal itu bermula ketika utusan Nasrani menemui Rasulullah.

Baca Juga

"Wahai Abu Qasim, utuslah seorang sahabat Anda agar menjadi penengah kami dalam berbagai masalah harta benda yang kami persengketakan. Sesungguhnya kaum Muslimin mendapatkan kepercayaan dari kami," kata utusan itu.

"Datanglah kembali nanti petang. Aku akan mengutus seorang yang paling jujur dan kuat jiwanya," jawab Rasulullah.

Mendengar hal itu, Umar bin Khattab berharap dirinya yang bakal ditunjuk. Bukan karena haus jabatan, Umar ingin betul menyandang titel 'orang yang paling jujur dan kuat jiwanya'. Umar pun datang ke masjid lebih cepat dari pada yang lainya untuk shalat Zhuhur berjamaah yang dimami nabi.

Seusai sholat, nabi melihat ke sekeliling. Umar pun menonjolkan badannya agar bisa dilihat nabi. Umar berharap betul bakal dipilih. Namun, pandangan nabi malah terhenti pada sosok Abu Ubaidah.

Nabi pun memanggil Abu Ubaidah. "Pergilah engkau bersama mereka ini (utusan Nasrani), terangilah perselisihan mereka," kata nabi.

Sejak saat itu, tulis Ayesha (2017:28), Abu Ubaidah dikenal sebagai kepercayaan umat. Hal itu dipertegas Rasulullah dengan sabdanya, "Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah."

Terbukti di Medan Perang

Nama lengkap Abu Ubaidah adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys. Ia adalah bagian dari kelompok pertama yang masuk Islam. Ia bersyahadat sehari setelah Abu Bakar.

Sikap terpercaya Abu Ubaidah itu tampak dalam sejumlah misi militer yang dijalankan. Pada Perang Badar (623 Masehi), sebagai seorang prajurit, ia terpaksa menghadapi keluarga dan kerabatnya sendiri yang masih kafir.

Kala itu, sebagaimana ditulis Abdurrahman Raf’at al-Basya dalam Sosok Para Sahabat Nabi (2005), Abu Ubaidah terkenal berani sehingga para penunggang kuda musuh selalu menghindarinya. Hanya satu orang yang berani menghadapinya. Bahkan orang ini mengejarnya, tapi giliran Abu Ubaidah yang menghindar.

Lantaran Abu Ubaidah terus menghindar, orang itu akhirnya malah jadi sosok terdepan dalam perang itu. Kondisi yang tak menguntungkan bagi pasukan nabi. Abu Ubaidah pun akhirnya terpaksa menghadapinya dan menebas kepalanya hingga putus. Orang yang tewas mengenaskan itu adalah Abdullah ibn-Jarrah, ayahnya sendiri.

Pada operasi Khabath (629 M), Abu Ubaidah kembali menampakkan sikap terpercayanya. Kala itu nabi menunjuknya sebagai pemimpin dengan 300 orang prajurit.

Namun, tulis Khalid Muhammad Khalid (2014:298), ia hanya diberikan bekal sebakul kurma. Padahal perjalanan yang akan ditempuh amat jauh dan tugasnya juga berat. Walhasil, selama sehari setiap prajurit hanya mendapat jatah segenggam kurma. Saat stok mulai menipis, setiap prajurit hanya kebagian sebuah kurma setiap hari.

Saat perbekalan habis, mereka memetik daun tumbuhan Khabath untuk ditumbuk lalu dimakan. Operasi itu akhirnya sukses. Begitulah Abu Ubaidah bertahan demi menunaikan kepercayaan nabi.

Namun, dalam sebuah perang di masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Ubaidah sempat menunda untuk memberitahukan pesan yang amat penting. Tapi penundaan itu didasarkan sebuah kebijaksanaan.

Abu Ubaidah ketika itu menerima surat penunjukan sebagai panglima perang menggantikan Khalid bin Walid. Tapi, ia tak memberitahukan kabar itu langsung ke Khalid bin Walid.

Alasannya,  pergantian panglima saat perang masih berlangsung akan merusak fokus pasukan. Ia memberikan surat itu kepada Khalid bin Walid ketika peperangan sudah dimenangi tentara Islam.

Khalid bin Walid pun mempertanyakan penundaan itu. "Aku tidak ingin menghentikan perangmu. Bukanlah kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita berbuat. Kita semua adalah saudara yang memperjuangkan agama Allah," jawab Abu Ubaidah.

Setelah itu, Abu Ubaidah menjadi panglima tentara di Negeri Syam. Di sana pula lah ia meninggal karena terinfeksi wabah sampar alias pes yang tengah merajalela. Umar bin Khattab meneteskan air matanya ketika mendapat kabar duka itu.

"Semoga rahmat Allah terlimpah bagimu wahai saudaraku,” ujar Umar sebagai tanda perpisahan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement