REPUBLIKA.CO.ID, Hiruk pikuk suasana Stasiun Juanda, Jakarta Pusat pada Kamis (25/6) sekitar pukul 10.17 WIB, sangat terasa. Penumpang yang turun di stasiun samping Masjid Istiqlal ini, harus menghadapi seruan tawaran dari ojek pangkalan (opang).
“Ojek, ojek sini. Mau ke mana Bu?” tanya salah satu pengemudi opang menawarkan jasanya.
Suasana moda transportasi di Stasiun Juanda memang berbeda dari sebelumnya. Sekarang tampak jauh lebih rapi. Baik opang, ojek online (ojol), maupun bajaj lebih teratur dibandingkan sebelumnya.
Hal itu membuat penumpang lebih nyaman melanjutkan perjalanan. Pada bagian sebelah kiri luar stasiun, bajaj berjejer dengan rapi. Sementara itu, di dalam stasiun sebelah kiri jalur masuk ojol, dan sebelah kanan berbaris opang.
Ketua Paguyuban Opang Stasiun Juanda, Ale (56 tahun), mengatakan, setuju dengan peraturan baru mengenai integrasi moda transportasi di Stasiun Juanda. “Kalau program pemerintah, kita ikutin aja lah,” kata Ale sembari menunggu penumpang.
Dia menjelaskan, jam operasional opang berbeda dengan ojol. Jika ojol hanya bisa menarik penumpang dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB, opang mengikuti jam operasional kereta. Sehingga, kesempatan mendapatkan penumpang jauh lebih lama dan besar.
Sebelum dilakukan penerapan integrasi moda transportasi, Ale menyebutkan, pengemudi opang sudah mendapatkan sosialisasi. "Ada kesepakatan dengan ojol. Kesepakatannya cuman titik penjemputan ojol melalui aplikasi,” ungkapnya.
Meski begitu, bagi Ale tetap saja ada penurunan penumpang yang dirasakan. Biasanya sehari ia bisa mengantongi pendapatan Rp 200 ribu, kini hanya Rp 40 ribu. Hal itu dipicu pandemi Covid-19, yang membuat penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Juanda menurun drastis.
Dia melanjutkan, jumlah opang di Stasiun Juanda berdasarkan datanya pada 2019, sebanyak 400 orang. Sekarang jumlahnya tinggal sekitar 250 orang. Penurunan ini disebabkan ada beberapa opang yang kendaraannya ditarik pihak leasing karena tidak sanggup membayar iuran bulanan.
Pengurus opang Stasiun Juanda lainnya, Ipeh (51), menyampaikan sikap setuju dengan aturan baru penataan ojek. “Biar kondusif juga enggak terlalu macet,” katanya.
Ipeh menjelaskan, sebelum adanya penataan ini, baik opang maupun ojol dalam menunggu penumpang sangat semrawut. Titik penjemputan keduanya di satu lokasi, yaitu depan Indomaret yang terletak di sebelah kiri stasiun. Hal ini menimbulkan kemacetan di jalan.
Selain demi menertibkan pengemudi ojek, menurut Ipeh, aturan itu juga mendorong agar opang dan ojol bisa saling kerja sama dan berdampingan. Pasalnya, sejak 1997, sebenarnya wilayah Stasiun Juanda menjadi tempat opang mengais rezeki. Sehingga, apabila pemerintah lebih mengutamakan ojol, menurut dia, bisa memicu kecemburuan sosial.
“Opang sudah ada sejak tahun 1997. Jadi, mereka yang lebih dulu, mereka juga asalnya warga sekitar sini sama kayak saya," ujar dia.
Salah satu sopir bajaj, Iman (52), merasa kondisi sekarang lebih tertib dan rapi. Dengan memiliki jalur sendiri, kata dia, semua jenis transportasi tidak lagi saling berebut.
Sebelum ada penerapan baru ini, ia mengaku, sudah sejak awal ada di tempat jalur sekarang. Sebelumnya ada beberapa rekan-rekannya masih ada di sekitar Stasiun Juanda, tidak mengikuti jalur. "Setuju aja kalo diatur kayak gini. Enggak masalah,” kata Iman.
VP Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), Anne Purba, menuturkan, pengelola stasiun mendukung penataan integrasi dengan menambahkan fasilitas petunjuk moda transportasi. Selain menyediakan fasilitas berupa petunjuk moda transportasi, pihak stasiun juga menyediakan jalur masuk keluar untuk ojek daring dan ojek pangkalan. Papan dipasang di depan kedua gerbang Stasiun Juanda.
“Hal ini dilakukan agar penumpang dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih mudah,” ujarnya.