REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah diharapkan mendukung pertumbuhan inovasi suatu produk dengan eksternalitas negatif yang lebih rendah. Partner of Tax Research & Training Services dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, mengatakan, salah satu caranya dengan pengenaan pajak yang lebih rendah untuk produk alternatif yang membawa dampak positif bagi masyarakat.
Instrumen pajak, kata dia, bisa digunakan untuk mengoreksi dan mengubah perilaku yang membawa dampak buruk atau memiliki ekternalitas negatif, serta mendorong lebih banyak munculnya produk inovasi untuk kebaikan masyarakat.
"Produk-produk inovasi juga dapat meningkatkan daya saing yang juga dibutuhkan untuk bertahan di masa pasca krisis akibat pandemi coro a, salah satu agenda penting yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah mendesain instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas negatif," ujar dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (1/7).
Pada prinsipnya, Bawono mengatakan, ketika membicarakan mengenai upaya mencegah eksternalitas negatif maupun mengendalikan perilaku, pemerintah bisa menggunakan instrumen perpajakan. Hal ini, kata dia, merujuk kepada fungsi regulerend yaitu fungsi pajak untuk mengatur, mendorong dan mengendalikan kegiatan ekonomi ke arah yang lebih baik.
"Jika suatu produk alternatif memiliki eksternalitas lebih rendah, produk tersebut sepatutnya juga dikenakan pungutan atau beban perpajakan yang lebih rendah. Hal ini merupakan bentuk stimulus bagi produsen untuk terus berinovasi dalam menghadirkan produk-produk yang memiliki eksternalitas negatif yang lebih rendah,"ujarnya.
Menurut Bowo, desain seperti itu akan memberikan dua manfaat. Pertama, perilaku konsumsi akan berubah kepada produk yanyg memiliki eksternalitas lebih rendah. Kedua, produsen akan terdorong melakukan inovasi atas produk-produk baru yang less harmful.
Desain kebijakan seperti ini, kata Bowo, sudah diterapkan di Indonesia dalam kebijakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor.
Dalam aturan terbaru yang terbit tahun lalu, dasar pengenaan PPnBM tidak lagi menggunakan dimensi kendaraan namun berdasarkan besaran emisi gas buang atau konsumsi bahan bakar.
"Itu artinya, mobil dengan emisi gas buang yang lebih rendah akan dikenakan tarif PPnBM lebih rendah dibandingkan mobil berbahan bakar fosil. Selain itu, pemerintah juga memberikan beberapa insentif fiskal untuk produsen mobil listrik," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi mengungkapkan, pihaknya berencana menyusun kebijakan mengenai penerapan cukai yang lebih rendah untuk plastik berbahan dasar nabati.
Saat ini, kantong plastik berbahan dasar nabati sudah ada di pasaran meskipun harganya relatif lebih mahal. “Itulah mengapa perlu dikenakan tarif yang lebih rendah agar orang-orang ramai-ramai shifting termasuk industrinya,” kata Heru.
Selain mobil listrik dan plastik berbahan baku nabati, salah satu produk rendah eksternalitas negatif yang sedang diperbincangkan di berbagai negara adalah produk tembakau alternatif. Di banyak negara, tarif cukai produk tembakau alternatif umumnya lebih rendah dibandingkan dengan tarif cukai rokok konvensional.
Dalam Global Forum on Nicotine 2020 (GFN 2020) yang diselenggarakan secara daring pada 11-12 Juni lalu para pakar dunia juga menyuarakan hal yang sama. Profesor Fakultas Hukum dan Ketua Dewan Penasihat Pusat Hukum Kesehatan, Kebijakan & Etika di Universitas Ottawa, Kanada, David Sweanor dan pakar kesehatan masyarakat asal Inggris Gerry Stimson bahkan mengatakan, kebijakan pajak atau cukai yang sesuai dengan profil risiko saat ini sudah menjadi kebutuhan.
Perilaku para perokok didorong untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko melalui kebijakan pajak atau cukai yang sesuai dengan profil risiko. “Ada 1,1 miliar perokok di dunia yang layak mendapatkan kesempatan dan pilihan yang lebih baik daripada mereka terus merokok,” kata Gerry Stimson.