REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Allah SWT berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat/41: 33). Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits, ayat ini turun ditujukan untuk muadzin.
Muadzin adalah orang yang mengumandangkan adzan. Tugas muadzin itu memanggil orang beriman untuk melaksanakan shalat. Namun sejatinya kumandang adzan bukanlah panggilan muadzin, tapi panggilan Allah SWT. Maka tatkala terdengar suara adzan, aktivitas apapun sedianya ditunda. Adzan selain harus didengarkan juga harus dijawab.
Nabi SAW mengajarkan, “Apabila kalian mendengar panggilan shalat (adzan), maka kalian ucapkan (jawab) seperti apa yang diucapkan oleh muadzin.” (HR. Ahmad). Kecuali beberapa kalimat adzan yang cara menjawabnya berbeda. Perlu juga diketahui, salah satu dimensi estetik dalam Islam adalah kumandang adzan yang merebut hati banyak orang.
Mengumandangkan adzan berpahala besar. Nabi SAW menginformasikan, “Muadzin diampuni sejauh jangkauan adzannya. Seluruh benda yang basah maupun yang kering yang mendengar adzannya, memohonkan ampunan untuknya.” (HR. Ahmad). Saat ini jangkauan adzan bisa sejauh puluhan kilometer karena menggunakan pengeras suara.
Tentu sulit menghitung betapa banyaknya benda basah dan kering yang mendengar alunan adzan yang kemudian memohonkan ampun untuk muadzin. Tak pelak, apabila seluruh kaum muslimin mengetahui besarnya pahala mengumandangkan adzan, maka akan terjadi antrian besar-besaran di depan masjid atau mushalla setiap waktu shalat tiba.
Terkait hal ini Nabi SAW memberi ilustrasi, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala yang terkandung pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mungkin mendapatkannya kecuali dengan cara mengadakan undian untuk itu, niscaya mereka akan melakukan undian.” (HR. Bukhari). Dalam konteks eksatologi, hadits ini memberi informasi betapa beruntungnya muadzin.
Kendati nyatanya selama ini muadzin diposisikan tidak sementereng imam atau penceramah. Muadzin hanya pelengkap shalat fardhu yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Padahal serorang muadzin adalah orang yang bersuara merdu dan memahami kata demi kata dari yang dilantunkannya. Tak hanya itu, muadzin diamanahi mewakili Allah SWT untuk mengumandangkan adzan.
Maka dari itu, sedapat mungkin seseorang pernah jadi muadzin, kendati hanya di mushalla atau di rumah. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah adzan didengar oleh jin, manusia, batu, dan pohon kecuali mereka akan bersaksi untuknya.” (HR. Abu Ya’la). Saksi mereka untuk muadzin, akan memperberat timbangan kebaikan muadzin. Inilah pahala bagi muadzin.
Memang secara kasat mata, seorang muadzin adalah orang yang paling pertama sampai di masjid. Ia yang paling dulu berwudhu lalu shalat sunah tahiyyatul masjid. Bahkan dalam shalat Subuh, dialah yang membaca tahrim Subuh untuk memakmurkan masjid sebelum kemudian mengumandangkan adzan. Pantas saja kalau muadzin beroleh pahala besar.
Setelah itu, karena kumandang adzannya, orang datang berduyun-duyun ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Saking strategis posisi muadzin ini hingga Nabi SAW menyatakan, “Muadzin mendapatkan pahala seperti pahala orang yang shalat bersamanya.” (HR. Nasa’i). Jadi dalam satu waktu shalat fardu peraih pahala terbanyak adalah muadzin.
Selanjutnya, ketika adzan berkumandang saat itu doa dikabulkan. Dalam Lubab al-Hadits, Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengutip sabda Nabi SAW, “Apabila adzan berkumandang, maka dibukalah pintu langit, dan dikabulkanlah doa. Dan apabila telah tiba waktu iqamah, maka doa seseorang tidak akan ditolak.” Ingin pahala berlimpah? Ayo jadi muadzin.