Rabu 08 Jul 2020 05:30 WIB

Sulitnya Peroleh Status Islam-Muslim di Negara Zionis Israel

Non-Muslim yang pindah agama ke Islam sulit mendapatkan statusnya.

Rep: Yusuf A/ Red: Nashih Nashrullah
Non-Muslim yang pindah agama ke Islam sulit mendapatkan statusnya.
Foto: AP/Mahmoud Illean
Non-Muslim yang pindah agama ke Islam sulit mendapatkan statusnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada satu hal yang tak banyak diketuahi publik dunia terkait dengan kebebasan beragama di Israel. Gelombang pindah agama yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan sangatlah mengkhawatirkanan pihak berwenang di Isreal. Untuk itu, maka pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama setempat berupaya sekuat tenaga untuk mempersulit proses pengesahan untuk kemudian menolak mengakui orang Yahudi yang pindah agama ke Islam.

Pada dasarnya, surat pengesahan/pengakuan dikeluarkan oleh Kementerian Agama adalah untuk mengawasi serta mengeliminasi dua hal pokok, yakni pindah agama dan nikah beda agama. Tapi, tetap saja pindah agama kini terjadi hampir tiap hari dan dirasakan sebagai ancaman oleh kaum Zionis. Sebagaimana dikutip dari harian Israel, Haaretz, selama tujuh bulan terakhir, G (nama disamarkan), seorang wanita Yahudi yang tinggal di selatan kota Tel Aviv, harus bolak-balik ke kantor Kementerian Agama.

Dia yang kini sudah menjadi Muslimah setelah menikah dengan seorang pria Muslim, mencoba mendapatkan surat pengakuan pindah agama. G pindah agama dan menjadi Muslimah lantaran keyakinan Yahudi melarang keras pemeluknya untuk nikah beda agama.

Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, keduanya dipegang oleh menteri yang berasal dari partai Shas, selalu menolak mengakui serta mengesahkan dokumen pindah agama dari Yahudi ke Islam. Dokumen itu sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Pengadilan Syaria di Jerusalem. Segala hal dipersulit. Kementerian Dalam Negeri yang berwenang mengontrol pernikahan beda agama penduduk Israel dan alih agama ke Islam, kemudian mengeluarkan peraturan bahwa keduanya harus memperoleh sertifikat dari pihak Kementerian Agama, atau dari pemuka agama Yahudi.

Kasus yang menimpa G tidaklah istimewa, sebab banyak lagi yang mengalami hal serupa. Pengajuan permohonan untuk mendapatkan sertifikat pindah agama sudah merupakan perjuangan tersendiri dan terkadang sangatlah berat. Mereka kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan, antara lain penundaan pengesahan yang berlarut-larut dan juga menjadi sasaran intimidasi.

Bila tekanan-tekanan seperti itu tidak juga berhasil, maka pemerintah tinggal menghiraukan peraturan yang ada--demikian diutarakan Association for Civil Rights in Israel (ACRI). Akhir Mei lalu, G dan suaminya mendatangi kantor biro lokal Catatan Sipil untuk mendaftarkan pernikahan mereka dan juga perpindahan agamanya. G lantas mendatangi meja seorang petugas di sana dan menyodorkan surat nikah dan pindah agama yang dikeluarkan oleh Pengadilan Syaria.

Petugas tadi menghiraukan dokumen-dokumen tersebut dan meminta surat yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Yahudi (rabbinical court) atau dari Kementerian Agama. Ketika keduanya lantas mendatangi kantor Kementerian Agama di Jerusalem, petugas senior di kementerian itu meminta berbicara empat mata dengan G. Dalam dialog tersebut, si petugas mendesak agar G mengubah pendiriannya dan membatalkan keputusannya pindah agama.

Namun, G sudah berketetapan memeluk Islam dan itu tidak bisa diganggu gugat. Pada akhirnya dia pun memasukkan permohonan pengesahan pindah agama dan melengkapi syarat-syarat lainnya. Pasangan itu lantas mendapat penjelasan bahwa permohonan mereka akan dipelajari oleh sebuah komite khusus yang anggotanya terdiri dari petugas sosial dan psikiater.

Komite tersebut bertugas untuk mencari tahu apakah G pindah agama karena paksaan atau tekanan pihak asing. Petugas di kantor Kementerian Agama itu pun menjelaskan, jawaban atas permohonan tersebut akan dikeluarkan paling lambat antara 6-18 bulan mendatang.

Komite khusus juga berhak untuk mengeluarkan rekomendasi bahkan keputusan menyangkut sertifikat pindah agama milik G. Bulan Agustus, pengacara dari ACRI, Bana Shagri-Badarna, mendesak agar pihak yang berwenang secepatnya menanggapi permohonan G, tetapi tetap tidak mendapat respons memuaskan. Keduanya memang sangat membutuhkan surat pengesahan dari kementerian dalam negeri agar dapat memperoleh hak-hak selaku warga negara dan jaminan sosial.

Akhirnya mereka pun terbang ke Bulgaria dan menikah ulang di sana secara sipil. Pada bulan Oktober, mereka mengajukan permohonan lagi yang langsung ditujukan kepada Direktur Catatan Sipil, Herzl Gadz'. Mereka masih menunggu jawaban.

photo
Warga Arab Israel sholat Jumat di samping pemakaman Muslim dari abad ke-18 sebelum menggelar protes menentang penghancuran makam oleh pemerintah kota Tel Aviv, Jumat (12/6). Israel berencana membangun rumah bagi tunawisma di lahan makam. - (AP Photo/Oded Balilty)

Kasus ini tak hanya menimpa G. Ada sejumlah orang yang mengalami hal yang sama. Orang-orang ini, dan beberapa yang mengalami kasus serupa lainnya, takut dipublikasikan. Ini cukup beralasan. Mereka khawatir terhadap tekanan sosial yang pasti bakal dialami, di samping mereka pun waswas pada sepak terjang kelompok garis keras Yahudi semisal Yad La'Ahim (A Hand to The Brothers).

Kelompok semacam ini tak segan-segan melakukan intimidasi fisik demi mencapai maksud dan tujuannya. Beberapa waktu kemudian, pihak ACRI menghubungi kepala Departemen Pengadilan Tinggi pada kantor Kejaksaan Agung, Osnat Mandel, dengan membawa kasus yang menimpa G, S, A dan beberapa lainnya.

ACRI mengatakan bahwa pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama 'telah mengancam hak kebebasan beragama, harkat dan martabat warga negara yang telah memilih untuk memeluk agama Islam.' Sementara itu seorang mantan hakim di Pengadilan Syaria mengatakan, hingga beberapa tahun lalu, sepengetahuannya tidaklah terlalu sulit memperoleh pengesahan pindah agama dari pihak berwenang setelah yang bersangkutan mendapatkan sertifikat dari Pengadilan Syaria.

Biasanya, orang yang telah mengajukan permohonan, akan didengar keterangannya di hadapan pejabat dari Kementerian Agama dan pemuka agama Yahudi, untuk memastikan kehendaknya itu bukan karena paksaan atau tekanan. Kini kondisinya sudah berubah. Peraturan dibuat sedemikian rupa untuk menekan masyarakat yang ingin pindah agama. 

 

Naskah ini diterbitkan Harian Republika pada 16 Juli 2004.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement