Jumat 10 Jul 2020 02:40 WIB

Ribuan Ekor Anemon Laut Dibawa Keluar NTT Secara Ilegal

Pengambilan anemon tanpa izin yang legal dapat mengancam kelestarian ekosistem laut

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Pengambilan anemon tanpa izin yang legal dapat mengancam kelestarian ekosistem laut. Ilustrasi.
Foto: Ist
Pengambilan anemon tanpa izin yang legal dapat mengancam kelestarian ekosistem laut. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - Ribuan ekor anemon laut yang merupakan ekosistem terumbu karang dibawa keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur secara ilegal. Anemon-anemon tersebut berasal dari kawasan zona konservasi suaka alam perairan (SAP) Selat Pantar Kabupaten Alor.

Keterangan ini dikemukakan Ketua Pengelola Kawasan Konservasi SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya di Kabupaten Alor, Muhammad Saleh Goro, ketika menghubungi Antara di Kupang, Kamis. "Selama tiga hari ini ribuan ekor anemon laut dibawa keluar NTT secara ilegal tanpa adanya surat keterangan asal (SKA) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT," katanya.

Baca Juga

Ribuan ekor anemon laut itu dibawa keluar oleh dua pengusaha yakni Saifullah Takirin sebanyak 1.500 ekor dan Dominggus Pandu sebanyak 350 ekor yang disimpan di dalam stereofoam. Saleh Goro yang juga Kepala Cabang DKP NTT Wilayah Kabupaten Alor itu menjelaskan, anemon laut merupakan ekosistem terumbu karang berupa hewan dari kelas anthozoa yang memiliki bentuk tubuh seperti bunga yang biasanya disebut mawar laut.

Hewan ini dilarang untuk ditangkap di daerah koservasi sesuai dengan aturan yang termuat dalam 7 Ayat 3 Peraturan Gubernur NTT Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Penggelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Provinsi NTT. Dari hasil pengawasan di lapangan pada Juni 2020 lalu penangkapan anemon laut marak dilakukan masyarakat di sejumlah desa di Pulau Pura, Kecamatan Pura yaitu Desa Maru, Desa Pura Selatan, dan Desa Pura Barat.

"Hasilnya kemudian dibawa keluar NTT oleh pengusaha tersebut melalui Kupang tanpa mengantongi SKA yang sudah diatur dalam Pergub Nomor 118 Tahun 2019 bahwa seluruh tata niaga distribusi hasil perikanan di dalam Provinsi NTT wajib memiliki SKA dari DKP NTT," katanya.

Saleh Goro pun meminta adanya surat dari DKP NTT untuk menghentikan praktik ini karena telah mengancam ekosistem laut di kawasan konservasi setempat. "Kalau ini tidak dihentikan maka 34 spot selam di SAP Selat Pantar ini akan tinggal kenangan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement