REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pusat Studi BUMN menggelar Diskusi Online dengan Tema “Arah Transformasi BUMN”. Kegiatan ini bertujuan mengkaji dan memberi catatan atas kondisi terkini dalam reformasi BUMN di Indonesia dengan menghadirkan Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan sebagai Keynote Speaker.
Dahlan Iskan memulai diskusi dengan menyatakan, pada dasarnya wajar jika disebut negara tidak perlu ikut berbisnis.
"Ketika negara berbisnis, maka sebenarnya swasta sedang dihadapkan pada persaingan yang tidak adil melawan BUMN yang disokong oleh negara melalui capital dan peraturan. Menyerahkan bisnis kepada swasta adalah pilihan yang bisa menyelesaikan berbagai masalah yang ada di BUMN," ujarnya, Jumat (17/7).
Namun demikian, tak dapat dimungkiri, Dahlan sangat memahami sejarah dan pertimbangan-pertimbangan strategis yang melatarbelakangi adanya BUMN. Untuk itu, dirinya menyarankan untuk mengklasifikasi BUMN yang ada menjadi dua kategori, yang terkait dengan ketahanan-nasional dan BUMN yang tidak terkait.
"Untuk BUMN yang tidak terkait, secara bertahap harus dilepas ke swasta, sedangkan BUMN non-profit bisa dikelola dengan sistem pengelolaan professional," ujarnya.
Diluar isu tersebut, Dahlan Iskan juga menyoroti masalah de-politisasi. Memberikan otonomi kepada BUMN agar dapat menerapkan profesionalisme secara penuh adalah kunci agar BUMN bisa menaikkan performa bisnisnya.
Intervensi politis, kata dia, kemungkinan memang tidak selalu bisa dihindari, disini keberadaan Menteri BUMN sebagai penghubung antara pemerintah dengan BUMN menjadi sangat krusial.
"Menteri yang berlatar belakang profesional diharapkan mampu menfilter antara agenda strategis negara dan kepentingan politis sesaat. Keberanian Menteri BUMN melindungi BUMN dari kepentingan-kepentingan politis inilah salah satu factor penting dalam mengawal transformasi BUMN," paparnya.
Sedikit berbeda dengan Dahlan Iskan, Akademisi FEB Airlangga, Luthfi Nur Rosyidi menyajikan temuan studi di negara Cina dan negara-negara Nordic. Berbeda dengan Eropa barat dan Amerika Utara yang menjadikan privatisasi sebagai resep utama transformasi BUMN, China dan Nordic ternyata memilih untuk tetap memiliki BUMN. Bahkan, setelah melalui 40 tahun lebih transformasi, saat ini China masih mempunyai lebih dari 15.000 BUMN.
"Banyak di antara BUMN-BUMN tersebut, adalah perusahaan raksasa dan beroperasi secara global. 75 diantaranya bahkan masuk dalam Fortune Global 500. Padahal tahun 2000, baru ada 9 BUMN China yang masuk FG 500 (dari total waktu itu hanya 27 BUMN seluruh dunia)," kata dia.
Keberhasilan transformasi di Cina ini secara signifikan membantu peningkatan ekonomi negara, terbukti bahwa BUMN di China mengusasai 40% asset korporasi di negaranya sendiri, dan juga 20% income sesama perusahaan FG 500. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai bukti empiris bahwa kepemilikan negara dalam perusahaan tidak menghalangi kinerja binis.
"Di Norwegia, Finlandia, Swedia dan Denmark yang selama satu dasawarsa ini selalu menjadi rujukan negara dengan perekonomian yang sehat, dan kultur bisnis serta kesejahteraan terbaik, perusahaan milik negara masih tetap dikuasai oleh negara dengan berbagai pertimbangan," ungkap dia.
Melihat praktik yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika dengan privatisasi, serta di Cina dan Nordic yang tetap mempertahankan BUMN-nya, Luthfi percaya bahwa factor penentu keberhasilan transformasi BUMN bukan pada persoalan kepemilikan, tapi lebih pada tata kelola.
Luthfi mengusulkan agar pengelolaan BUMN bisa menggunakan tiga cara utama, yaitu mengubah hubungan negara dengan BUMN menjadi hubungan professional, menjadikan kinerja bisnis (finansial dan non finansial) sebagai tolok ukur penilaian pengelola BUMN serta epolitisasi BUMN. Luthfi yakin bahwa negara tidak boleh berbisnis, tapi tidak ada salahnya negara menjadi pemilik perusahaan bisnis.