REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jagat media sosial sedang diramaikan dengan unggahan sebuah foto dengan tulisan atau meme bertuliskan 'Kue Klepon Tidak Islami' dan mengajak pembaca meninggalkan jajanan tidak Islami tersebut. Pengguna media sosial ramai-ramai memparodikan dan mengolok-olok agama Islam melalui meme tersebut.
Menanggapi meme dan reaksi pengguna media sosial tersebut, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Osmena Gunawan mengingatkan kembali bahwa arti makanan halal.
Dia menjelaskan bahwa makanan halal adalah makanan yang toyib atau baik, bermanfaat buat tubuh dan sesuai dengan porsi masing-masing karena setiap orang berbeda kebutuhannya.
"Tapi mengapa klepon disebut sebagai makanan tidak Islami, apa yang membuat makan itu tidak Islami?," kata Osmena saat diwawancarai Republika.co,id, Rabu (22/7).
Dia menjelaskan, pada umumnya seluruh makanan apapun halal pada dasarnya, kecuali makanan yang diharamkan. Sementara makanan yang diharamkan sudah jelas diatur dalam agama Islam.
Makanan yang diharamkan adalah makanan yang berasal dari babi dan turunannya apapun itu. Makanan yang diharamkan juga berasal dari binatang yang bertaring seperti anjing. Kalau makanan yang tidak berasal dari makanan yang diharamkan, kenapa harus diharamkan.
"Kita juga berdosa mengharamkan (makanan) yang halal dan mengada-ada," ujar Osmena sambil mempertanyakan adanya orang yang mengatakan kue klepon tidak Islami.
Dia juga menjelaskan bahwa istilah syariah biasanya digunakan untuk suatu pekerjaan dan transaksi. Kalau makanan yang dimasukan ke perut pastinya yang halal, artinya halal adalah syariah juga.
Kalau di makanan ada istilah halal dan haram, kalau di perbuatan misalnya berpakaian ada istilah syar'i. Jadi pakaian yang sesuai dengan tuntunan agama yakni menutup aurat disebut syar'i. Sementara kalau untuk makanan lebih tepat menggunakan istilah halal dan haram.
Sebelumnya, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Sholeh meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas pengunggah dan penyebar unggahan di media sosial tersebut. Karena secara nyata telah menyebabkan kegaduhan.
"Termasuk elemen masyarakat yang menjadikan berita bohong itu sebagai bahan olok-olokan yang menimbulkan permusuhan, kegaduhan, dan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan," kata Kiai Niam melalui pesan tertulis Republika.co.id, Rabu (22/7).
Menurutnya, unggahan foto atau meme itu berpotensi melecehkan ajaran agama. Maka meminta kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan kabar hoaks tersebut. Juga meminta masyarakat agar tidak terprovokasi dan terjebak pada komentar-komentar yang melecehkan ajaran agama atau membangun stigma buruk terhadap agama.