REPUBLIKA.CO.ID, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memang sosok kontroversial. Majalah The Economist pernah membuat ilustrasi mengenai perdamaian di Timur Tengah.
Di sampul majalah itu digambarkan betapa api lilin perdamaian menyala sangat terang saat mantan PM Israel Yitzhak Rabin dan ketua PLO Yasser Arafat berjabat tangan pada September 1993.
Yakni saat mereka menandatangani persetujuan damai. Tapi, nyala api itu mulai sedikit meredup kala Rabin dibunuh pada November 1995, lalu semakin mengecil pada Februari-Maret 1996 saat terjadi serangkaian bom bunuh diri.
Lilin tersebut meleleh, tinggal separonya, dan apinya nyaris padam, saat Benjamin Netanyahu memenangkan pemilihan kursi perdana menteri Israel pada Mei 1996. Empat bulan kemudian api perdamaian benar-benar padam kala Netanyahu membuka terowongan di dekat Masjidil Aqsha.
Gara-gara ini, pemogokan marak di seantero Palestina, dan intifadah, untuk pertama kali sejak pemerintahan sendiri berdiri, digelar lagi. Bahkan, beberapa kali polisi Palestina terlibat baku tembak dengan tentara Israel. Israel-Palestina berada di ambang perang.
Netanyahu tetap tak mau menutup terowongan itu, meski ada desakan dari seluruh dunia. Sebaliknya, pemerintahnya menuduh, Palestina sengaja merekayasa kerusuhan tadi.
Cara yang sama juga dilakukannya saat bertemu dengan Arafat di Washington. Menanggapi tuntutan Arafat bagi penutupan terowongan dan penarikan tentara dari Hebron, ia justru menyerang balik: Arafat harus bikin komitmen bahwa polisinya tidak akan lagi menyerang tentara Israel.
Netanyahu adalah orang yang hendak membalik arah jarum perdamaian di Timur Tengah. Baik saat kampanye maupun setelah terpilih jadi PM ia berkali-kali menegaskan, ia tak hendak mengakui persetujuan damai yang telah dibuhul antara Arafat dan Rabin, pendahulunya. Ia juga menolak formula yang jadi dasar perundingan Timur Tengah selama ini, yang justru berasal dari AS, yaitu prinsip pertukaran ''tanah Arab dengan perdamaian''.
Netanyahu punya definisi sendiri mengenai apa itu kekuasaan. ''Kedaulatan adalah memiliki kekuasaan untuk untuk mengatakan kepada orang-orang yang hendak mendikte Anda bahwa mereka tidak bisa mendikte Anda dan bahwa Anda punya kekuataan untuk melawan,'' kata Netanyahu saat mengunjungi permukiman Eli.
Israel, tambahnya, memiliki kekuasaan seperti itu, dan pihak Palestina tidak boleh memperolehnya, kapan pun.Coba simak. Betapa angkuhnya, betapa ''barbarnya'' pernyataan itu. Netanyahu tak cuma berkoar. Lihat, betapa angkuh dan ''barbarnya'' tindakan-tindakan yang telah dia ambil selama menjadi PM. Dengan lantang, ia mengumumkan bahwa ia tidak hendak mengakui persetujuan-persetujuan yang telah dicapai pemerintah pendahulunya di bawah Rabin, tak peduli dengan kecaman dunia.
Kekakuan Netanyahu semestinya memang bisa jadi membawa hikmah: memicu solidaritas Arab. Tapi, ternyata, solidaritas itu hanya ada di mulut. Mereka tak sanggup memenuhi ancaman mereka dan tak berbuat sesuatu yang berarti guna menghentikan langkah-langkah Netanyahu.