REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap jasa perjalanan haji dan umrah bersifat permanen. Ketentuan ini mulai berlaku sebulan setelah PMK Nomor 92 Tahun 2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Keagamaan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (22/7).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, kebijakan penghapusan ini bukan temporer yang dikarenakan situasi tekanan akibat pandemi Covid-19, melainkan selamanya.
"Itu permanen, sebagai penegasan tentang jasa dibidang keagamaan yang dalam Pasal 4A UU PPN merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN (Non JKP)," kata Hestu ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/7).
Tidak hanya jasa perjalanan haji dan umrah, pemerintah juga menentukan beberapa jenis jasa lain dalam kelompok jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN. Di antaranya, jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah atau dakwah dan jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan.
Di sisi lain, Kemenkeu juga mengecualikan penerima penghasilan dari bantuan, sumbangan atau harta hibah sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh). Begitupun dengan pemberi keuntungan akibat pengalihan harta melalui bantuan, sumbangan atau hibah.
Tapi, Hestu mengatakan, pengecualian berlaku dengan syarat tertentu. "Yakni, apabila dilakukan antara pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan," ujarnya.
Syarat lain agar penghasilan dalam bentuk hibah serta pemberian dalam bentuk bantuan, sumbangan, dan hibah dapat dikecualikan sebagai objek PPh adalah pihak penerima harus merupakan orang tua kandung atau anak kandung.
Opsi berikutnya, pihak penerima adalah badan keagamaan, badan sosial termasuk yayasan, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
Perlakuan khusus diberikan kepada badan keagamaan, pendidikan, atau sosial termasuk yayasan. Meskipun terdapat hubungan kepemilikan atau penguasaan antara pemberi dan penerima, penghasilan atau keuntungan dari hasil bantuan, sumbangan, atau hibah tetap dikecualikan sebagai objek PPh.
Sementara itu, bagi pihak pemberi, segala bentuk bantuan, sumbangan, dan hibah dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak.
Pengaturan aspek perpajakan bantuan, sumbangan, serta harta hibahan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90 tahun 2020 tentang Bantuan atau Sumbangan, serta Harta Hibahan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan. Regulasi ini mulai berlaku pada 21 Juli 2020.