Rabu 29 Jul 2020 04:55 WIB

8 Pesan Simbolis Politik Turki Erdogan dari Hagia Sophia

Terdapat 8 pesan simbolis politik Turki Erdogan dari konversi Hagia Sophia.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat 8 pesan simbolis politik Turki Erdogan dari konversi Hagia Sophia.  Seorang wanita menaruh bunga mawar di depan Masjid Hagia Sophia.
Foto: EPA-EFE / SEDAT SUNA
Terdapat 8 pesan simbolis politik Turki Erdogan dari konversi Hagia Sophia. Seorang wanita menaruh bunga mawar di depan Masjid Hagia Sophia.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL – Keputusan mengkonversi Hagia Sophia dari museum ke masjid itu setidaknya diklaim sebagai kemenangan moral dan politik mayoritas penduduk Turki.

Dilansir di Arabic Post, Selasa (28/7), Mahkamah Agung Administratif Turki membatalkan keputusan lama yang dikeluarkan kabinet  era Kemal Attaturk pada 1934 soal status museum Hagia Sophia.  Selama periode menjelang keputusan itu hingga tanggal pelaksanaan sholat perdana di masjid Hagia Sophia, belum lama ini, tampak gelagat serta sikap politik dari konversi itu.

Misalnya, untuk pertama kalinya sejak 86 tahun, politisi Turki sengaja mengirim banyak pesan politik, moral, dan simbolis untuk menghasilkan acara itu dengan sekuat mungkin. Setidaknya, terdapat delapan pesan simbolis bernuansa politik penting yang ingin disampaikan Ankara lewat konversi Hagia Sophia menjadi masjid.

Pertama, soal pidato Erdogan tentang kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid. Pada 10 Juli 2020, Mahkamah Agung Administratif  Turki mengumumkan keputusannya untuk mengubah status Hagia Sophia.

Meskipun keputusan Mahkamah Agung Administrasi datang pada siang hari, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memilih untuk menunda pidatonya di televisi hingga pukul 20:53 waktu setempat. 

Khususnya, hal itu merupakan tanda simbolis yang menandakan tahun 2053 sebagai peringatan 600 tahun penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmet.

Kedua, memilih pembukaan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. Walaupun putusan Mahkamah Agung Adinistratif dikeluarkan pada 10 Juli 2020, Erdogan menetapkan 24 Juli sebagai tanggal resmi perubahan status Hagia Sophia. Hal itu karena tidak ada hari lain untuk mengadakan sholat perdana di masjid bersejarah.

Lalu mengapa harus 24 Juli? Sebab, pada tanggal tersebut di tahun yang berbeda yakni 1923, pendiri Republik Turki modern-sekuler, Mustafa Kemal Ataturk, menandatangani Perjanjian Lausanne dengan Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Yunani, Rumania, dan bekas Yugoslavia.

Orang-orang Turki menganggap, Perjanjian Lausanne sebagai kemenangan besar bagi negara mereka. Sebab di bawahnya, Perjanjian Sevres yang ditandatangani  Kekaisaran Ottoman pada hari-hari terburuknya dibatalkan.

Turki kemudian menarik perbatasannya sekarang setelah mengusir orang-orang Yunani, Inggris, Perancis, dan Armenia dari sebagian besar Anatolia dalam perang pembebasan yang dipimpin Kemal Ataturk dan memulihkan Thrace Timur (bagian Eropa dari Turki).

Di bawah perjanjian yang sama, Turki menganeksasi tanah luas di perbatasan selatannya dan memulihkan wilayah Gaziantep, Kahraman, Marash, Urfa, Mersin, Adana, Diyarbakir, Mardin, dan daerah lainnya yang ditempatkan Perancis di dalam wilayah Suriah. Yaitu ketika mereka berbagi warisan Kekaisaran Ottoman dengan sekutu Inggris mereka.

Ketiga, warna karpet yang digunakan Masjid Hagia Sophia. Tugas membuat karpet yang digunakan di Masjid Hagia Sophia dipercayakan ke laboratorium bersejarah di pinggiran Demerji, negara bagian Manisa di Turki Barat. 

Ketua Dewan Manajemen Masjid, Reza Ozkol mengatakan, ketika mengusulkan pilihan warna karpet yang sesuai, terdapat tiga warna yang disarankan. Yaitu bordeaux, cherry, dan turquoise. “Namun kami membuat warna pirus atas permintaan Presiden Erdogan,” kata Ozkol.

Mengapa Erdogan memilih warna pirus secara khusus? Sebab, pirus merupakan warna yang melambangkan simbolisme historis bagi orang Turki. Menurut Orientalis asal Prancis, pirus disebut warna pirus karena orang Turki berasal dari permata pirus dari Persia ke Eropa.

Kata ‘turk’ berarti orang Turki, sedangkan kata ‘waz’ berarti warna. Oleh karena itu terjemahan katanya menjadi pirus yang berarti warna Turki. Dinasti Ottoman menggunakan warna ini di banyak masjid dan bangunan tua mereka, sehingga warna pirus menjadi terkait dengan mereka.

photo
Setia menunggu di distrik bersejarah Sultanahmet Istanbul, di luar era Bizantium Hagia Sophia, Jumat, 24 Juli 2020. Ratusan umat Islam melakukan jalan ke monumen Istanbul Jumat untuk mengambil bagian dalam doa pertama dalam 86 tahun di struktur yang dulunya adalah katedral yang paling signifikan di Susunan Kristen - (AP Photo/Yasin Akgul)

Keempat, tanggal lahir akun Twitter Hagia Sophia. Tanggal lahir akun Twitter Masjid Hagia Sophia 29 Mei. Tanggal ini bertepatan dengan hari Sultan Mehmet II dengan pasukannya ketika memasuki Konstantinopel dan melakukan penaklukan. Meraih gereja Hagia Sophia dan mengubahnya menjadi masjid.

Pada Selasa, 29 Mei 1453, umat Islam menutupi simbol-simbol Kristen di gereja itu setelah mengubahnya menjadi masjid. Dan mereka melakukan shalat di dalamnya bersama kesultanan Ottoman untuk pertama kalinya.

Kelima, bahasa Arab Ottoman bertengger di atas lukisan Masjid Hagia Sophia. Meskipun Turki telah meninggalkan penggunaan huruf Arab sejak 1932, namun Pemerintah Turki saat ini memilih menulis nama Hagia Sophia Kabir Syarif dalam huruf Arab yang digunakan Ottoman sebelum pembentukan Republik Turki.

Sebagaimana diketahui, penggunaan bahasa Ottoman yang ditulis dalam huruf Arab adalah hal yang normal dalam lukisan lama masjid bersejarah di Turki. Namun demikian penerapannya dalam lukisan masjid baru dan penyajiannya pada bahasa Turki saat ini memiliki signifikansi politik menurut beberapa pengamat.

Penggunaan huruf-hururf Arab dianggap sebagai langkah simbolis untuk menekankan rekonsiliasi dengan sejarah Turki Utsmani. Yaitu dalam penyelesaian proyek rekonsiliasi yang diprakarsasi Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa sejak 2002.

Keenam, Erdogan menerbitkan sebuah lagu dalam sembilan bahasa yang digunakan  berbagai umat Islam. Beberapa jam sebelum sholat perdana dilakukan di Hagia Sophia, Erdogan melalui akun Twitter resminya menerbitkan nyanyian-nyanyian rekonstruksi sejarah dari museum ke masjid.

Lagu itu dibawakan oleh 12 penyanyi dalam sembilan bahasa yang diucapkan oleh orang-orang Islam. Antara lain bahasa Arab, Turki, Kirgistan, Bosnia, Albania, Azerbaijan, Kurdi, Bengali, dan Swahili. 

Produksi lagu dalam sembilan bahasa yang berbeda dianggap sebagai indikasi bahwa Hagia Sophia merupakan masjid simbolis yang menjadi perhatian umat Islam, bukan Turki semata. Ini sekaligus pesan politik kepada negara-negara Muslim.

Ketujuh, khatib Jumat naik ke mimbar dengan pedang Sang Penakluk, Sultan Mehmet II. Pada saat naik ke podium Hagia Sophia untuk berpidato di hadapan para jamaah, Kepala Urusan Agama Turki Ali Arbash membawa pedang milik Sultan Mehmet II yang ia pegang sepanjang khutbah.

Dalam kebiasaan Ottoman, perebutan pedang oleh imam dengan tangan kanan dimaksudkan untuk mengintimidasi musuh. Tentu saja, penggunaan pedang milik Sultan Mehmet oleh Arbash pada kesempatan itu juga membawa pesan-pesan politik yang menggarisbawahi kekuatan Turki.

Kedelapan, sebuah lagu '15 Juli' dimulai di depan masjid. Untuk merayakan ulang tahun keempat kegagalan percobaan kudeta terhadap Presiden Erdogan, Kepala Departemen Komunikasi Kepresidenan Turki Fakhruddin Al-Tun menerbitkan sebuah lagu tentang piala-piala yang ditulis orang Turki pada 15 Juli 2016.

Lagu tersebut juga pernah dinyanyikan oleh orkestra militer Ottoman yang dikenal sebagai ‘Muhtar’. Lagu itu menunjukkan secara khusus untuk Hagia Sophia tentang betapa pentingnya bangunan tersebut yang merupakan simbol nasional bangsa. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement