REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Semar merupakan tokoh wayang yang diciptakan langsung oleh Sunan Kalijaga. Dalam pewayangan, Semar merupakan ‘pentolan’ punakawan yang berjiwa adil meski buruk rupa.
Menelisik tentang tokoh Semar memang tidak ada habisnya. Para penggemar wayang sangat terkagum-kagum dengan tokoh yang satu ini.
Salah satu penggemar wayang, Ustadzah Saanih dari Majelis Taklim As-Syafiiyah, membenarkan tentang sikap bijaksana dan adil yang dituai Semar.
“Semar itu tokoh yang adil, sering bercanda, dan dia itu sangat amar makruf nahi munkar,” kata Ustadzah Saanih kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Semar memang dikenal sebagai tokoh wayang yang luar biasa. Dia bagian dari Punakawan. Wayang Punakawan sendiri dalam tokoh pewayangan jawa terdiri dari Semar beserta anak-anaknya yaitu, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam setiap lakonnya, wayang Punakawan kerap menyajikan pertunjukkan yang menghibur dengan pesan yang bermanfaat.
Dalam lakon, wayang Punakawan bertindak sebagai penasihat, teman bercengkrama, dan pengingat bagi para ksatria untuk selalu melakukan kebaikan. Tokoh Punakawan ini merupakan modifikasi seni wayang yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Dalam buku Psikologi Raos dalam Wayang karya Suwardi Endraswara disebutkan, tokoh Semar memberi dimensi baru dan mendalam kepada etika wayang. Eksistensi Semar dan anak-anaknya mengandung suatu relativisasi daripada cita rasa priyayi mengenal ksatria yang berbudaya, halus lahir batinnya.
Dalam cerita pewayangan, Ki Lurah Semar jumeneng merupakan seorang begawan, namun ia sekaligus menjadi simbol rakyat jelata. Maka, Ki Lurah Semar juga dijuluki sebagai manusia setengah dewa.
Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih, dan tidak pernah terlalu riang gembira. Dengan kata lain, keadaan mentalnya sangat matang. Dia tidak kagetan, tidak juga gumunan.
Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan. Di balik ketenangan sikapnya, tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kekayaan pengalaman hidup, dan ilmu pengetahuan.
Semar digambarkan sebagai sosok yang berwatak rembulan, wajahnya yang pucat diekspresikan sebagai seseorang yang tidak mengumbar hawa nafsu. Dia disebut juga sebagai semareka den prayitna semare, yang artinya menidurkan diri.
Maksudnya, dia menidurkan diri agar batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api dan nafsu negatif. Dan yang paling penting, segala tindak-tanduk Semar selalu memohon restu dari Hyang Widhi (Allah SWT). Artinya, sosok semar adalah sosok yang berpasrah kepada Illahi, yang mana hal itu dikenal sebagai keimanan dan ketakwaan.
Dalam kepemimpinan dan politik, filsafat Semar tentang pemimpin sejati adalah paradoks. Bagi Semar, pemimpin itu adalah majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat dengan kekayaannya. Tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah.
Sehingga Semar, yang merupakan manusia setengah dewa, itu selalu menjadi pelayan atau pembantu para ksatria. Terutama pembantu Arjuna yang tampan namun kerap kali membuat ‘onar’. Semar dalam psikologi disebut sebagai sebuah filsafat, baik etik maupun politik.
Semar bagaikan watchdog para ksatria dan pemimpin. Kehadirannya disegani, dibutuhkan, dan didengar. Konsep amar makruf nahi munkar dalam diri Semar tak lepas dari modifikasi dakwah yang digelorakan Sunan Kalijaga dalam dunia seni wayang.
Sehingga tak heran, bagi penggemar Wayang seperti Ustadzah Saanih, ia kerap memasukkan nama Semar sebagai idola pertama dalam kesenian tersebut yang disukainya. Yang paling penting baginya, tokoh Semar ini meski hidupnya lurus-lurus saja, namun ia bersikap luwes dan kerap guyon. Kehadirannya dapat memecah tawa penonton, sekaligus mengingatkan tentang nilai kebaikan.