Senin 03 Aug 2020 21:28 WIB

Padi Organik Desa Jaten Hasilkan 6,4 Ton Gabah Kering

Budidaya organik mengembalikan kesuburan tanah.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Fuji Pratiwi
Panen perdana padi organik di Dusun Sawahan, Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (3/8). Panen perdana padi organik tersebut menghasilkan 6,4 ton gabah kering panen atau sekitar 3 ton beras per hektare.
Foto: Republika/ Binti Sholikah
Panen perdana padi organik di Dusun Sawahan, Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (3/8). Panen perdana padi organik tersebut menghasilkan 6,4 ton gabah kering panen atau sekitar 3 ton beras per hektare.

REPUBLIKA.CO.ID, KARANGANYAR -- Panen perdana padi organik di Dusun Sawahan, Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, menghasilkan 6,4 ton gabah kering panen atau sekitar tiga ton beras per hektare. Panen perdana dilakukan pada Senin (3/8).

Padi organik yang ditanam di laha seluas sekitar 1 hektare tersebut dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Jaten Bermartabat. Direktur BUMDes Jaten Bermartabat, Imam Subhan, mengatakan, BUMDes yang dia pimpin berdiri pada 5 Desember 2019. 

Baca Juga

Usaha padi organik menjadi yang pertama dikerjakan. Para petani dibimbing oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Daerah Kabupaten Sragen. "Padi organik ini kami berusaha prosesnya mulai dari pengolahan tanah sampai panen anti pestisida. Sampel sudah diuji di laboratorium pertanian UGM (Universitas Gadjah Mada)," kata Imam.

Imam menyebut, panen padi organik perdana tersebut tergolong sukses. Sebab, metode organik yang diterapkan dapat menghasilkan tiga ton beras.

Meskipun, biaya yang dikeluarkan untuk pertanian organik lebih tinggi. Menurutnya, dalam 1 hektare sawah organik tersebut menghabiskan biaya Rp 48 juta. Angka tersebut dua kali lipat lebih banyak dibandingkan sawah nonorganik. "Kami memastikan kualitas beras organik yang diproduksi BUMDes Jaten lebih baik dan lahannya lebih subur," ujar Imam.

Dalam menerapkan pertanian organik, para petani binaan melakukan pengamatan hama dengan cara agroekosistem setiap pekan. Hal itu untuk mengetahui dinamika populasi serangga, hama penyakit maupun musuh alami yang terdiri dari predator dan parasit. Dalam kurun waktu 27 April sampai awal Agustus 2020, petani hanya menemukan wereng coklat.

"Sawah di Jaten pada umumnya terserang wereng coklat. Dengan disiplin agroekosistem lahan kami tidak terjadi serangan hama dan kerugian secara ekonomi," kata Imam.

Sementara itu, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Joko Pramono, mengatakan, hasil riset menunjukkan 73 persen lahan pertanian di Pulau Jawa hanya memiliki kandungan organik maksimal 2 persen. Hal itu diakibatkan pemupukan secara kimia yang menyebabkan tanah menjadi jenuh dan memicu lahan kritis. Sehingga, pemulihan lahan pertanian perlu segera dilakukan.

"Pengembangan pertanian ramah lingkungan terus kami dorong. Sebab, pola pertanian saat ini justru merugikan tanah," ucap Joko.

Karenanya, BPTP Jateng mendorong para petani mengubah metode budidaya tanaman ke organik untuk mengembalikan kesuburan tanah. Caranya dengan memakai pupuk kandang, pupuk kompos dan pupuk hijau mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pencegahan organisasi pengganggu tanaman sampai pascapanen.

Metode tersebut diharapkan menaikkan kandungan organik lahan pertanian sampai di level aman yakni lima persen. BPTP juga akan mendukung pertanian organik dengan menyuplai hasil teknologi dalam bentuk bibit unggul.

Namun, para petani diwanti-wanti agar bersabar dalam mengelola pertanian organik, terutama dari sisi energi maupun biaya. "Reaksi dari pupuk organik lambat. Tapi hasilnya ke depan lebih baik, yakni menjaga kesuburan tanah," kata Joko.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement