Rabu 05 Aug 2020 20:14 WIB

Beirut Sudah Pernah Diperingatkan Soal Bahaya Amonium Nitrat

Timbunan ribuan ton amonium nitrat sudah ada di gudang sejak 2013.

Warga bergotong royong membereskan masjid di Beirut, Lebanon, Rabu (5/8), pascaledakan. Ledakan yang mengguncang telah menewaskan lebih dari 100 orang dan meluluhlantakkan Kota Beirut.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Warga bergotong royong membereskan masjid di Beirut, Lebanon, Rabu (5/8), pascaledakan. Ledakan yang mengguncang telah menewaskan lebih dari 100 orang dan meluluhlantakkan Kota Beirut.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Indira Rezkisari, Antara

Dampak ledakan amonium nitrat di Beirut, Lebanon, masih dirasakan warganya. Beirut belum pernah merasakan guncangan dari ledakan sedahsyat itu.

Baca Juga

Penyelidikan awal menunjukkan kelalaian dan tidak adanya tindakan selama bertahun-tahun atas penyimpanan bahan yang sangat eksplosif di Pelabuhan Beirut, Lebanon. Ledakan telah menewaskan lebih dari 100 orang pada Selasa (4/8) waktu setempat.

Perdana menteri dan presiden Lebanon menyatakan, 2.750 ton amonium nitrat, yang biasa digunakan untuk pupuk dan bom, telah disimpan selama enam tahun di pelabuhan tanpa langkah-langkah keamanan. "Ini adalah kelalaian," kata seorang sumber pemerintah kepada Reuters, yang menambahkan bahwa masalah keamanan penyimpanan telah dibawa ke beberapa komite dan hakim tetapi tidak ada yang dilakukan untuk mengeluarkan perintah pemindahan atau pembuangan bahan mudah terbakar itu.

Sumber itu mengatakan, api mulai membakar gudang nomor 9 di pelabuhan dan menjalar ke gudang 12, di mana amonium nitrat disimpan. Ledakan tersebut adalah yang paling kuat yang pernah diderita oleh Beirut, sebuah kota yang masih dilanda perang saudara tiga dasawarsa lalu dan terhuyung-huyung akibat krisis keuangan yang dalam yang berakar pada korupsi selama puluhan tahun dan pengelolaan ekonomi yang buruk.

Direktur Jenderal Bea Cukai Lebanon Badri Daher mengatakan kepada penyiar LBCI pada Rabu (5/8), bea cukai telah mengirim enam dokumen ke pengadilan, memperingatkan bahan itu menimbulkan bahaya. "Kami meminta agar diekspor kembali tetapi itu tidak terjadi. Kami serahkan kepada para ahli dan mereka yang terkait untuk menentukan alasannya," kata Daher.

Sumber lain yang dekat dengan seorang karyawan pelabuhan mengatakan sebuah tim yang memeriksa amonium nitrat enam bulan lalu memperingatkan, jika tidak dipindahkan itu akan meledakkan seluruh Beirut.

Menurut dua dokumen yang dilihat oleh Reuters, Bea Cukai Lebanon telah meminta pengadilan pada tahun 2016 dan 2017 untuk meminta agen maritim yang bersangkutan mengekspor kembali atau menyetujui penjualan amonium nitrat, dikeluarkan dari kapal kargo, Rhosus, dan disimpan di gudang 12, untuk memastikan keamanan pelabuhan.

Salah satu dokumen mengutip permintaan serupa pada 2014 dan 2015. "Investigasi lokal dan internasional perlu dilakukan terhadap insiden tersebut, mengingat skala dan keadaan di mana barang-barang ini dibawa ke pelabuhan," kata Ghassan Hasbani, mantan wakil perdana menteri dan anggota partai Pasukan Lebanon.

Shiparrested.com, sebuah jaringan industri yang berurusan dengan kasus-kasus hukum, telah mengatakan dalam sebuah laporan 2015 Rhosus, berlayar di bawah bendera Moldova, merapat di Beirut pada September 2013 ketika mengalami masalah teknis dalam pelayaran dari Georgia ke Mozambik dengan 2.750 ton amonium nitrat.

Dikatakan, setelah diperiksa, kapal itu dilarang berlayar dan tak lama kemudian ditinggalkan oleh pemiliknya, yang mengarah ke berbagai kreditor yang mengajukan tuntutan hukum. "Karena risiko yang terkait dengan mempertahankan amonium nitrat di atas kapal, otoritas pelabuhan mengeluarkan muatan ke gudang pelabuhan," tambahnya.

Gubernur Beirut, Marwan Abboud, mengatakan 300 ribu orang kehilangan tempat tinggalnya akibat ledakan. Pemerintah kini sedang berupaya keras menyediakan makanan, air, dan tempat tinggal.

Marwan, dikutip dari Aljazirah, memperkirakan kerusakan yang terjadi pascaledakan menimbulkan kerugian antara 3 miliar hingga 5 miliar dolar AS. "Mungkin lebih," katanya.

Ledakan tidak hanya merusak bangunan rumah dan perkantoran, lumbung gandum utama Lebanon ikut rusak akibat ledakan. Lumbung gandum tersebut berlokasi di pelabuhan. Akibatnya, Lebanon terancam krisis pangan dengan cadangan gandum kurang dari sebulan. Lebanon, ujar Menteri Perekonomian, namun masih memiliki cadangan tepung terigu yang cukup.

Menteri Perekonomian Lebanon, Raoul Nehme, mengatakan Lebanon membutuhkan cadangan minimal tiga bulan stok gandum untuk memastikan keamanan pangan. Pemerintah sedang mencari stok lagi area yang tidak terdampak ledakan.

"Tapi tidak ada krisis tepung atau roti," katanya. "Kita punya stok yang cukup. Kapal juga dalam perjalanan untuk membantu kebutuhan Lebanon secara jangka panjang."

Lumbung gandum yang hancur hanya berisi 15 ribu ton. Jumlah itu jauh dari kapasitas normal yakni 120 ribu ton.

Wali Kota Beirut, Jamal Itani, mengatakan ledakan Lebanon meninggalkan kota seperti dalam kondisi perang. "Saya tidak bisa berkata apa-apa," sambungnya.

Sebelum ledakan terjadi Lebanon sudah di ambang kebangkrutan. Listrik bisa tidak menyala selama 20 jam sehari, tumpukan sampah bergunung-gunung dan antrian di depan stasiun pengisian bahan bakar adalah pemandangan biasa di negara itu.

Lebanon sudah bergulat dari satu bencana ke bencana lainnya. Akhir-akhir ini kesulitan semakin menjadi-jadi. PHK massal, rumah sakit terancam ditutup, toko-toko dan restoran bangkrut.

Angka kejahatan yang didorong keputusasaan meningkat pesat. Militer sudah tidak lagi mampu memberikan makan tentaranya daging dan penjual hewan ternak menjual barang kedaluwarsa.

Kecepatan jatuhnya Lebanon hingga ke titik terendahnya sudah sangat mengkhawatirkan. Setelah diterpa krisis finansial, kebangkrutan berbagai institusi, hiperinflansi dan meningkatnya angka kemiskinan lalu pandemi virus corona kini ancaman krisis pangan.

Pada Senin (3/8) Menteri Luar Negeri Lebanon pun mengundurkan diri. Lemahnya visi dan keinginan untuk mengimplementasikan reformasi struktural dapat mendorong negara itu menjadi 'negara gagal'.

Negara yang pernah menjadi panutan negara multikultural di dunia Arab itu menuju gerbang kehancuran. Negeri kecil di Mediterania itu pernah dikenal sebagai negara yang memiliki identitas dan semangat kewirausahaan yang kuat.

Bantuan kini sudah meluncur ke Beirut dari berbagai negara. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan akan mengunjungi Beirut secara langsung.

Kantor presiden Prancis mengatakan kunjungan Macron pada Kamis (6/8) untuk menunjukkan dukungannya pada bekas jajahan Prancis itu. Pada Rabu (5/8) kantor presiden Prancis mengatakan Macron akan bertemu dengan pemimpin-pemimpin politik Lebanon.

Negara-negara lain juga mengirimkan tim SAR (search and rescue) dan tim medis ke negara Mediterania itu. Lebanon bekas wilayah perlindungan Prancis dan kedua negara menjaga hubungan baik di bidang politik dan ekonomi.

Sejumlah negara di seluruh Timur Tengah dan Eropa mengirimkan juga bantuan. Uni Eropa mengaktifkan sistem perlindungan sipil untuk mengumpulkan pekerja dan peralatan darurat dari 27 negara anggota.

Komisi Uni Eropa berencana untuk mengirimkan 100 pemadam kebakaran berikut kendaraan, anjing pelacak dan peralatan untuk menemukan orang yang terjebak di puing-puing bangunan. Republik Ceko, Prancis, Jerman, Yunani, Polandia dan Belanda ambil bagian dalam upaya tersebut.

Sistem pemetaan Uni Eropa akan digunakan untuk membantu pemerintah Lebanon menentukan tingkat kerusakan. Tim darurat Prancis serta pakar teknologi dan kimia berangkat ke Lebanon.

Juru bicara keamanan sipil nasional Prancis Michael Bernier mengatakan tugas mereka mengidentifikasi risiko spesifik produk-produk yang disimpan di wilayah tersebut dan risiko ledakan lainnya. Sejumlah unit memiliki pengalaman dalam menangani dampak gempa bumi, kebakaran hutan dan bencana internasional lainnya, dilansir dari AP.

photo
Ledakan dasyat Amonium Nitrat - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement