Kamis 06 Aug 2020 04:31 WIB
Masjid babri

Hagia Sophia di Turki, Masjid Babri di India: Pilih Mana?

Kisah masjid Babri di India.

 Masa Hindu Karsevak di Ayodhya India pada 1992 terindikasi memnghancurkan masjid Babri dengan bom.
Foto: Youtube.com
Masa Hindu Karsevak di Ayodhya India pada 1992 terindikasi memnghancurkan masjid Babri dengan bom.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak beda dengan Hagia Sofia di Istanbul, Turki, kini perhatian umat Islam beralih kepada nasib masjid Babri di Uttar Pradesh, India. Kalau Hagia Sophia awalnya merupakan gereja kemudian menjadi museum dan kini menjadi masjid oleh Presiden Erdogan, apa yang terjadi di Masjid Babri berbeda. Dahulu merupakan masjid dan kini akan diresmikan menjadi kuil agama Hindu oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi.

Menurut Britanica.com mengenai asal-usul masjid Babri beserta konfliknya begini. Masjid Babri punya banyak nama. Masjid ini juga disebut Masjid Babur atau Masjid Baburi, sebelumnya Masjid-i Janmasthan, masjid di Ayodhya, berada di wilayah Uttar Pradesh, India.

Menurut prasasti, situs itu dibangun pada tahun 935 dalam kalender Islam (September 1528 - September 1529 M) oleh Mīr Bāqī, seorang penggawa kerajaan di bawah Kesultanan Mughal Bābur.

Masjid Babur dibangun bersama dengan masjid-masjid lian di Sambhal dan Panipat. Bangunan ini adalah salah satu dari tiga masjid yang konon dibangun pada abad ke-16 atas perintah Bābur. Sayangnya, masjid Babur kemudian dihancurkan pada tahun 1992 di tengah-tengah ketegangan konflik yang berikut situs itu antara umat beragama Hindu dan Muslim selama puluhan.

Masjid ini dibangun dengan gaya yang dikembangkan di bawah dinasti Lodi, yakni sebuah dinasti berumur pendek yang mendahului Mughal. Bangunannya kecil dengan susunan lorong tunggal dari tiga lengkung kubah di sepanjang dinding yang mengarah ke kiblat. Gerbang teluk tengah -- pīshṭāq yang menekankan keberadaan dan kepentingan bangunan — jauh lebih tinggi dari pada lekuk masjid di bagian samping.

Lokasi masjid memang telah menjadi sumber perselisihan antara Muslim dan Hindu. Pihak Hindu menyatakan bahwa itu dibangun di atas Ram Janmabhoomi, situs yang mereka yakini sebagai tempat kelahiran dewa Rama. Konflik pertama yang dicatat mengenai perebutan situs antara dua komunitas agama tersebut terjadi pada tahun 1853. Kala itu juga menjadi penanda dimulainya era transisi sosial politik di seluruh India.

Untuk mengatasi konflik, Pemerintah kolonial Inggris di India kala itu membagi area itu secara terpisah, yakni untuk Muslim dan Hindu. Pada 1949, setelah India merdeka, gambar-gambar Rama tiba-tiba dibawa masuk ke masjid. Akibat muncul kontroversi berikutnya. Penyelesaiannya kemudian situs tersebut ditutup untuk kedua komunitas, meski gambar Rama di dalam masjid Babri tetap tidak dihapus.

Pada tahun 1984 muncul sebuah kampanye politik yang untuk menghapus masjid dan membangun kuil Hindu di tempat situs Masjid Babri berdiri. Gerakan ini mendapatkan momentum di tahun-tahun berikutnya. Maka, pada tahun 1990 pecah kerusuhan antara umat Hindu dan Islam di sana. Kemudian terjadi perubahan politik. Momentum ini membantu menyapu Partai Bharatiya Janata yang kala itu untuk berkuasa di beberapa negara, termasuk di Uttar Pradesh.

Dan pada 6 Desember 1992 kerusuhan antarumat Hindu dan Islam kembali pecah. Pasukan-pasukan keamanan tak bisa berdiri ketika para aktivis pengikut partai yang kini terindikasi berkuasa di India menghancurkan masjid Barbie. Serangkaian pertempuran atau konflik kemudian berlanjut pengadilan terjadi dalam beberapa dekade berikutnya. Tanah di situs Masjid Babir itu kemudian dibagi untuk umat Hindu dan Muslim pada tahun 2010 oleh keputusan pengadilan tinggi.

Keputusan itu diajukan banding itu oleh para pengadu Hindu dan Muslim. Dan pada 2019 Mahkamah Agung mempercayakan situs itu secara eksklusif kepada umat Hindu.

Sementara itu, menurut situs Wikipedia sosal sosok dan tanggal pembangunan Masjid Babri dinyatakan tidak pasti. Memang ada prasasti di tempat Masjid Babri bahwa masjid ini dibangun pada 935 H (1528–29) oleh Mir Baqi sesuai dengan keinginan Babur. Namun, prasasti-prasasti ini tampaknya berasal dari vintage yang lebih baru.

Lagi pula, tidak ada catatan masjid dari periode itu. Baburnama (Chronicles of Babur) tidak menyebutkan masjid atau penghancuran sebuah kuil. Ramcharitamanas dari Tulsidas (1574) dan Ain-i Akbari dari Abu'l-Fazl ibn Mubarak (1598 M) juga tidak menyebutkan masjid. 

William Finch, penjelajah Inggris yang mengunjungi Ayodhya sekitar tahun 1611 malah menulis tentang "reruntuhan kastil Ranichand [Ramachand] dan rumah-rumah" di mana orang Hindu percaya bahwa Tuhan yang agung "membawa daging kepadanya untuk melihat tamasya dunia."

Finch menemukan panda (pendeta Brahmana) di reruntuhan benteng yang mencatat nama-nama peziarah, tetapi tidak disebutkan tempat itu sebagai masjid.  Thomas Herbert menggambarkan pada 1634 "kastil Ranichand yang cukup tua yang dibangun oleh Pagoda Bannyan dengan nama itu" yang ia gambarkan sebagai monumen antik yang "sangat berkesan". Dia juga mencatat fakta bahwa para Brahmana mencatat nama-nama peziarah.

Catatan paling awal bila situs yang diperebutkan sebagai sebuah masjid di lokasi yang secara tradisional diyakini oleh umat Hindu sebagai tempat kelahiran Rama berasal dari Jai Singh II (atau "Sawai Jai Singh"). Dia seorang bangsawan Rajput di pengadilan Mughal yang membeli tanah dan mendirikan Jaisinghpura banyak masjid pada 1717.

Dokumen-dokumen Jai Singh disimpan dalam koleksi Kapad-Dwar di Museum Istana Kota Jaipur. Dalam dokumen itu termasuk tersimpan sketsa peta situs Masjid Babri. Peta tersebut menunjukkan halaman pengadilan terbuka dan struktur yang dibangun dengan tiga puncak candi (sikharas) menyerupai Masjid Babri saat ini dengan tiga kubah. Halaman itu berlabel janmasthan dan menunjukkan Ram chabutra. Pusat teluk dari struktur yang dibangun diberi label chhathi, yang juga menunjukkan tempat kelahiran dewa Rama.

Misionaris Jesuit Eropa Joseph Tiefenthaler, yang tinggal dan bekerja di India selama 38 tahun (1743-1785) dan menulis banyak karya tentang India, juga mengunjungi Ayodhya pada 1767. Johann Bernoulli menerjemahkan karyanya Descriptio Indiae (dalam bahasa Latin) ke dalam bahasa Prancis, diterbitkan pada 1788.

Menurut akun ini, Aurangzeb (memerintah 1658-1707) telah menghancurkan benteng Ramkot, termasuk rumah yang dianggap sebagai tempat kelahiran Rama oleh umat Hindu. Sebuah masjid dengan tiga kubah dibangun di tempatnya. Namun, ia juga mencatat, "yang lain mengatakan bahwa itu dibangun oleh 'Babor' [Babur]". Orang-orang Hindu terus berdoa di semacam 'peron berlumpur' yang menandai tempat kelahiran Rama.

Tiefenthaler fasih berbahasa Persia dan Sanskerta yang juga menulis kamus Sanskerta-Persia, dan karya-karya lain dalam bahasa Persia, dia  tidak menemukan tulisan di dinding masjid yang menyatakan bahwa itu dibangun di bawah perintah Babur.

Kontroversi di situs Masjid Babri itulah yang masih membara sampai kini di kalangan umat Islam dan Hindu di India. Kalau Erdogan banyak yang menuduh langkahnya menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid sebagai manuver politik, kini imbang kiranya bila hal serupa disematkan kepada Perdana Menteri India Narendra Modi masa kini. Dia juga terindikasi menjadikan situs masjid Babri menjadi Kuil Dewa Rama sebagai langkah politik.

Jadi, kalau Erdogan mengatakan akar Turki adalah Ottoman (Islam), maka Modi pun bisa mengatakan akar India adalah Hindu. Bukankah di India semenjak awal kemerdekaannya sudah ada slogan: India adalah Hindu. Dan ingat ingat akibat slogan ini India kemudian terpecah menjadi dua, yakni India (Hindu), Pakistan yang Islam.

Kalau soal darah dan konflik itu pun masalah atau cerita lama di India. Bukankah pemimpin spiritual Mahatma Gandhi juga meninggal tertembak atas soal-soal yang terkait dengan persaingan umat Hindu dan Islam di India?

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement