REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abad 21 menuntut strategi dan proses pembelajaran sesuai kemampuan dan gaya belajar murid dalam lingkungan dan struktur pembelajaran yang lebih fleksibel. Murid belajar sesuai minat, bakat, dan jenis kemampuan, serta tempo belajar yang tepat.
Hal itu diungkapkan Bahrul Hayat, ketua umum Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) saat menjadi pembicara dalam Sawala Indonesia Bermutu baru-baru ini secara daring.
“Saat ini, guru harus memerankan dirinya sebagai motivator, fasilitator, dan arsitek pembelajaran. Hal itu karena strategi dan proses pembelajaran abad 21 menuntut pengalaman belajar yang customized dan berpusat pada murid,” kata Bahrul seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Sayangnya, menurut Bahrul, pengembangan kurikulum belum didasari bukti empiris yang solid tekait sekuensi dan perkembangan belajar murid sehingga terkesan ganti menteri ganti kurikukum. “Mestinya kebijakan pendidikan yang berdampak luas bagi puluhan juta murid dan jutaan guru seperti kurikulum dan ujian nasional didahului riset dan evaluasi mendalam dan komprehensif terkait struktur domain pembelajaran, profil kompetensi lulusan, pembelajaran dan penilaian, perkembangan murid, dan guru,” cetus Bahrul.
Senada dengan Bahrul, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Burhanuddin Tola menyarankan setiap kebijakan strategis pendidikan seperti profil murid yang diidam-idamkan kurikulum mesti dikaji, didiskusikan, dan dinarasikan dengan solid, cerdas, dan bernas, serta melibatkan banyak pihak dari beragam persepektif.
“Kurang elok rasanya, andai kita hanya memaksa murid memiliki kemampuan HOTS (Higher Order of Thinking Skill) -- kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif -- namun praksisnya kita cenderung menghindari selihai mungkin menggunakan metode HOTS dalam memformulasi berbagai kebijakan pendidikan,” pungkas Burhan.
Harry Firman, dosen UPI mencontohkan hasil studi PISA yang diterbitkan lembaga bereputasi global menyimpulkan capaian anak usia 15 tahun Indonesia masih tidak menggembirakan dibandingkan negara-negara lain. Padahal sudah hampir 20 tahun Indonesia berpartisipasi pada studi PISA.
Program for International Student Assessment, disingkat PISA) adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun.
Fenomena ini, menurut Harry, menunjukkan kurang solidnya formulasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan. “ Berbagai hasil studi bereputasi mengkonfirmasi mutu pendidikan kita masih dangkal sehingga para pemangku dan pelaku pendidikan perlu terus bekerja keras secara inklusif dalam memformulasikan kebijakan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian berdasarkan berbagai perspektif kebaruan,“ ungkap Harry.
Rahmat Syehani, peneliti Indonesia Bermutu menyayangkan andai formulasi kebijakan pendidikan dilakukan dengan common sense melalui mesin pencari informasi lalu dirangkum, dibahas secara eksklusif, dibuat desain grafis, lalu diedarkan. “ Formulasi kebijakan pendidikan sangat berbeda dengan pembuatan tugas pembelajaran murid saat pandemi,“ kata Rahmat.
Afrizal Sinaro, pimpinan Perguruan Al Iman mengharapkan Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang manjur. “Bukan membuyarkan kebijakan dan program yang telah tepat dan bermanfaat,” ujarnya.
Pembina Indonesia Bermutu, Misbah Fikrianto mengemukakan Indonesia Bermutu meyakini susbtansi dan fundamental kebijakan dan program pendidikan seperti kurikulum, pembelajaran, dan penilaian jauh lebih penting dari citra dan make up kebijakan dan program tersebut.
“Oleh karena itu formulasi kebijakan dan program strategis pendidikan wajib didasari riset dan evaluasi yang kuat secara metodologi, mendalam, komprehensif, inklusif, dan gamblang dinarasikan,“ kata Misbah Fikrianto.