REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Perkebunan tebu wilayah Pabrik Gula (PG) Bungamayang di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung seluas lebih dari 10 ribu hektare telah mempekerjakan 4.000 penebang tebu setiap hari. Adapun kapasitas produksi pabrik 7.000 TCD (ton can per day).
PG Bungamayang yang sekarang dikelola PT Buma Cima Nusantara (BCM), anak perusahaan PTPN VII ini telah berdiri sejak tahun 1982. Sedangkan area perkebunan tebunya sudah ada dua tahun sebelumnya (1980). “Pabrik Gula Bungamayang telah menjadi magnet bergeraknya ekonomi masyarakat di Kabupaten Lampung Utara,” kata Direktur PT BCN Putu Sukarmen, Selasa (11/8).
Pada musim tebang, hamparan perkebunan tebu kawasan Bungamayang membutuhkan pekerja tebang sebanyak 4.000 orang. Bila setiap pekerja diupah Rp 100 ribu per hari, maka jumlah uang yang beredar di daerah tersebut sangat tinggi.
Putu Sukarmen mengatakan, keberadaan PG Bungamayang maupun PG Cintamanis (di Ogan Ilir, Sumatra Selatan) di tengah masyarakat adalah magnet yang menarik simpul baru ekonomi. Dia berharap dukungan semua pihak, terutama para tokoh dan stakeholder agar PTPN VII dengan aset dan kegiatan usahanya tetap berjalan.
“Dengan usaha ini, kita bisa menarik dana itu beredar ke sini sehingga kita, dari buruh tebang, pedagang pecel, toko sembako, sampe sopir truk bisa sejahtera,” kata lelaki asal Bali kelahiran Lampung Timur.
Tim Inspektorat Komoditas Tebu PTPN Holding dipimpin Daniyanto bersama Direktur PTPN VII Doni P Gandamihardja, dan Direktur PT BCM Putu Sukarmen telah menyaksikan langsung hamparan perkebunan tebu kawasan PG Bungamayang menggunakan perahu getek.
Suryadi Hipni, mitra PT BCN mengatakan, kebun tebu sudah dibuka sejak tahun 1980, setelah itu baru dibangun pabrik gula tahun 1982. Menurut dia, waktu itu ia masih kecil dan bapaknya menjadi tokoh tua di Ketapang tersebut.
Menurut dia, tanah kelahirannya dikenal sebutan Ketapang. Daerah yang masuk teritorial Kabupaten Lampung Utara. Daerah itu tujuan transmigrasi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Teritorialnya berat, tanah perladangan tidak terlalu subur. Banyak transmigran tidak betah dan kembali ke kampung halamannya di Jawa.
“Memang tanah daerah sini kurang subur kalau untuk padi. Jadi, para transmigran begitu jadup (jatah hidup)-nya habis, mereka pulang ke Jawa. Tetapi begitu dengar di sini didirikan pabrik gula, mereka balik lagi,” kata petani tebu rakyat yang saat ini menggarap 30 hektare bermitra dengan PTPN VII itu.