Senin 17 Aug 2020 04:17 WIB

Sekalipun Optimistis, Pemerintah Diingatkan untuk Waspada

Indonesia dalam teritori negatif, dan belum jelas pandemi Covid-19 akan berakhir.

Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap pertumbuhan ekonomi 2021. Foto Eddy Soeparno (ilustrasi)
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap pertumbuhan ekonomi 2021. Foto Eddy Soeparno (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno mengingatkan pemerintah untuk tetap waspada terkait dengan target pertumbuhan ekonomi 2021 mencapai 4,5 - 5,5 persen. Diingatkannya, saat ini Indonesia dalam teritori negatif, dan juga belum jelas kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

""Skenario pertumbuhan ekonomi 4.5 – 5.5% cukup optimis,” kata Edd menanggapi  Presiden Jokowi, dalam Pidato Penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Nota Keuangan, dalam siaran persnya, Ahad (16/8).

Menurut Eddy, target  pertumbuhan 5 – 5.5% dapat tercapai di tahun 2021, jika Indonesia mampu memproduksi vaksin antiCovid-19 secara massal di akhir tahun ini. Termasuk kehidupan sudah relatif normal.

Optimisme ini, menurutnya, cukup berdasar karena pemerintah tetap menggenjot stimulus fiskal di tahun yang akan datang. Selain itu, kehadiran vaksin akan meningkatkan keyakinan konsumen untuk mulai melakukan belanja untuk rumah tangga, hiburan, berpergian dan lain-lain.

"Jika kapasitas produksi dan rantai pasok global berangsur-angsur pulih, kegiatan eksporpun dapat meningkat pesat karena banyak barang yang sedianya siap di ekspor mendadak di stop. Bukan semata-mata karena permintaan di negara tujuan turun, namun juga karena impor bahan baku masih terganggu dan transportasi antar negara masih belum pulih," lanjut Eddy

Berkaitan dengan pembiayaan aggaran untuk membiayai defisit APBN senilai Rp.971.2 triliun, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini menganalogikan kondisi ekonomi Indonesia seperti rumah tangga yang dihantam krisis penghasilan. Dijelaskannya, jika sedang kekurangan uang, maka ada beberapa pilihan, yaitu  menjual barang/aset. Kedua,  berhemat dan ketiga,  pinjam uang.

“Saat ini Indonesia tidak mungkin melakukan penjualan aset atau IPO dari sejumlah BUMN. Pasarnya sedang tidak kondusif,” ungkapnya.

Di lain pihak, kata Eddy, Indonesia tidak bisa berhemat karena pemerintah justru harus memberikan stimulus fiskal besar-besaran agar masyarakat. Karena perlu menjamin kondisi sosialdan ekonomi tetap bergerak.

“Akhirnya tinggal opsi untuk menarik utang baru, yang sesungguhnya bukan hal yang pantang dilakukan, sepanjang pricing-nya kompetitif, digunakan secara tepat sasaran dan bisa dipertanggung jawabkan,” kata mantan bankir dari Merrill Lynch ini.

Eddy mengingatkan pandemi Covid-19 merupakan variabel yang punya daya rusak yang besar terhadap perekonomian, dan sulit diprediksi berakhirnya. "Jika penemuan dan produksi vaksinnya berlarut-larut kita perlu bersiap untuk melakukan lebih dari satu kali perubahan APBN 2021,” paparnya.

Hal yang penting, sambung Eddy, masyarakat mengawasi penggunaan dan penyerapan anggarannya.  Sehingga setiap rupiah yang digelontorkan bermanfaat bagi masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement