Selasa 18 Aug 2020 08:38 WIB

Muslim Inggris Menanggung Beban Covid-19

Banyak tenaga medis Covid-19 Muslim di Inggris dengan visa kerja sementara.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
 Muslim Inggris Menanggung Beban Covid-19. Foto: Masjid Green Lane di Birmingham, Inggris memberikan tambahan pelayanan pemulasaran jenazah pasien Covid-19 untuk memastikan bisa mengatasi lonjakan kematian akibat corona.
Foto: Green Lane Masjid & Community Centre
Muslim Inggris Menanggung Beban Covid-19. Foto: Masjid Green Lane di Birmingham, Inggris memberikan tambahan pelayanan pemulasaran jenazah pasien Covid-19 untuk memastikan bisa mengatasi lonjakan kematian akibat corona.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Seorang perawat Muslim Inggris, Binish mengatakan, ada kesenjangan di dalam National Health Service (NHS) antara manajemen dan staf etnis kulit hitam, Asia, dan minoritas atau Black, Asian, Minority Ethnic (BAME).

"Sulit untuk menentukan, manajer bangsal dan perawat senior tidak menyukai penampilan saya. Saya memiliki komentar tentang hijab saya, seperti 'apakah kamu memakai terlalu banyak bahan?'", kata Binish, saat mengingat permusuhan dari manajemen kulit putih selama pelatihannya di rumah sakit London, dilansir dari laman Middle East Eye, Senin (17/8).

Baca Juga

Ini menimbulkan beban emosional. Binish juga begitu menyadari bahwa hal itu dapat memengaruhi kariernya, bahkan ia mengaku ingin keluar dari profesinya pada saat itu.

Permusuhan dari manajernya memaksanya untuk bekerja dua kali lebih keras dari rekan-rekannya, dan berupaya tidak mengeluh. "Saya harus membuktikan diri, saya akan tinggal dua kali lebih lambat. Itulah tekanan yang Anda rasakan untuk menjadi berbeda," kata dia.

Kemudian Binish ditanya, apakah menurutnya perselisihan ini masih berada di garis depan pandemi, mencegah petugas kesehatan dari etnis minoritas meningkatkan kekhawatiran tentang paparan virus.

"Sebagai perawat, kami diajarkan bahwa Anda harus mengakui keterbatasan Anda, Anda harus bisa mengungkapkannya. Dalam praktiknya, itu berbeda," kata dia.

"Jika Anda BAME, ada tekanan tambahan yang akan membuat Anda bertahan dengan buruk," lanjutnya.

Bagi banyak tenaga kesehatan Muslim dengan visa kerja sementara, perselisihan ini lebih konkret dan merugikan. "Kami tidak punya pilihan untuk tinggal di rumah, visa kami tidak mengizinkan kami. Untuk bekerja di rumah sakit, kami harus berada di garis depan," kata seorang ahli radiologi Mesir, bekerja di West Midlands dengan visa sementara.

"Anda tidak bisa tinggal di rumah, meskipun Anda berisiko tinggi. Saya tahu banyak orang dari komunitas Muslim yang menderita asma, diabetes. Saya pribadi hipertensi, tetapi saya harus bekerja karena gaji saya akan dipotong, dan saya tidak sendirian dalam hal ini," ucapnya.

Dia menjelaskan, pembatasan visa tingkat dua bisa berdampak pada keluarganya jika dia meninggal. Terus terang, dia berkata, "Jika saya meninggal karena Covid, keluarga saya harus segera pergi," kata dia.

Di samping itu, saat diminta menjelaskan beban kerjanya selama pandemi, Sekretaris jenderal British Islamic Medical Association (BIMA), Salman Waqar menjawab dengan masam. "Berapa lama Anda punya?" katanya.

Sepanjang penerapan lockdown, badan amal seperti BIMA, menerjemahkan dan menyampaikan nasihat pemerintah yang kontradiktif kepada masyarakat. Waqar masuk dan keluar dari pengarahan komunitas, meyakinkan anggota komunitas yang panik, bahkan merancang alat pelindung diri (APD) yang sesuai untuk agama minoritas.

Sebuah laporan Kantor Statistik Nasional, mengenai kematian akibat Covid-19 oleh kelompok agama baru-baru ini mengungkapkan, bahwa jumlah kematian tertinggi ada di komunitas Muslim.

"Kematian ini tidak terjadi dalam ruang hampa. (Mereka) mencerminkan ketidaksetaraan yang ada yang telah hadir di masyarakat untuk waktu yang sangat lama. Covid telah membawa mereka secara tajam ke dalam fokus," ucap Waqar.

Angka-angka itu muncul setelah laporan yang tertunda, dan awalnya disensor oleh badan Kesehatan Masyarakat Inggris (PHE) pemerintah pada Juni. Dan menemukan bahwa, orang Inggris BAME dua kali lebih mungkin meninggal dari orang kulit putih Inggris jika tertular virus corona.

"Keputusan itu sangat tidak sensitif mengingat Muslim Inggris sebagian besar berasal dari komunitas BAME, dan begitu banyak dokter Muslim telah meninggal di garis depan pandemi ini," kata Sekretaris jenderal Dewan Muslim Inggris (MCB), Harun Khan.

Sebuah studi 2014 oleh Joseph Rowntree Foundation, mendokumentasikan risiko kemiskinan di berbagai kelompok agama. Ditemukan bahwa Muslim 50 persen lebih mungkin hidup dalam kemiskinan.

Menurut laporan MCB 2011, yang berjudul "British Muslims in numbers" 46 persen (1,22 juta) populasi Muslim tinggal di 10 persen daerah yang paling miskin, dan 1,7 persen (46 ribu) di 10 persen yang paling tidak beruntung.

Meskipun penelitian tersebut menekankan bahwa masalah ini tidak eksklusif untuk komunitas Muslim. Namun penelitian ini menghubungkan kekurangan materi yang lazim di kalangan Muslim Inggris dengan hasil kesehatan yang buruk.

Laporan PHE mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan etnis, dan pendapatan secara independen terkait dengan kematian akibat Covid-19.

Menurut sensus 2011, hanya satu dari lima populasi Muslim yang bekerja penuh. Waqar mengidentifikasi, ketidakamanan ekonomi ini juga memainkan peran kunci dalam jumlah kematian, yang tidak proporsional dari tenaga kesehatan Muslim di garis depan.

 

Sebuah survei 2014 tentang diskriminasi dalam pemerintahan dan kepemimpinan di NHS mengungkapkan kurangnya mobilitas karir untuk petugas kesehatan BAME, menyebabkan tingginya konsentrasi tenaga kesehatan dari etnis minoritas dalam peran dengan gaji lebih rendah.

Jika terjadi pandemi, mereka akan berada di garis depan. Empat kematian pertama dokter Muslim memberi tahu perbedaan ini juga berlaku untuk petugas kesehatan Muslim.

"Banyak di antara mereka adalah lokum atau tenaga honorer", kata Waqar.

"Mereka merasa tidak dapat menantang struktur hierarki di NHS. Kami tidak memahami (bagaimana) nuansa hubungan itu, bermain dalam pengaturan klinis," kata dia.

Laporan PHE juga menyimpulkan, "Kita harus bertindak sekarang, Covid-19 tidak menciptakan ketidaksetaraan, ini sudah lama ada pada kita, kita tidak membutuhkan lebih banyak data atau penelitian untuk bertindak. Kita harus mencegah lebih banyak kerugian yang terjadi".

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement