REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Utsmaniyah disebut punya hubungan yang erat. Romantisnya hubungan itu sudah terjalin sejak Keraton Kasunanan Surakarta pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwana III yang memerintah pada 1749-1788. Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana III atau dengan nama aslinya Raden Mas Suryadi mendirikan Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Masjid ini dibangun pada 1763 dan rampung pada 1768.
Menurut Ketua Takmir Masjid Keraton Kasunanan Surakarta, KH Muhammad Muchtarom adanya masjid agung makin mempererat hubungan Kesultanan Utsmaniyah dengan keraton Surakarta khususnya kaum Muslimin saat itu. Utsmaniyah kerap mengirimkan utusan-utusannya baik untuk menjalin hubungan ekonomi maupun dengan mengirimkan para cendekiawan muslim untuk mensyiarkan Islam. Pada masa Pakubuwana III, kesultanan Utsmaniyah dipimpin Sultan Mahmud I (1730-1754), Sultan Osman III (1754-1757), Sultan Mustafa III (1757-1774), dan Sultan Abdul Hamid I (1774-1789).
Menurut Kiai Muchtarom, pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah mengirim ulama-ulama dari tanah Hijaz yang menjadi kekuasaannya ke Surakarta. Termasuk para qadi atau hakim. Melalui utusan-utusan Utsmaniyah itu, Keraton Kasunanan Surakarta perlahan-lahan membangun sistem perundang-undangan Islam. Pada kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwana IV atau Raden Mas Subadya, keraton Surakarta mulai menetapkan hukum syariat Islam menjadi undang-undang negara.
Hubungan itu semakin kuat ketika masa kekuasaan Pakubuwana X atau Raden Mas Sayyidin Malikil Kusna (1893-1939). Menurut Muchtarom pada masa ini banyak literatur-literatur Islam yang dibawa utusan-utusan Utsmaniyah ke Surakarta dan diajarkan kepada masyarakat. Pada masa ini pula, penerapan hukum Islam sudah menyeluruh pada berbagai masalah. Muchtarom mengayakan kala itu Masjid Agung Keraton Surakarta mempunyai Pengadilan Serambi, tempat dimana pemutusan semua masalah-masalah sesuai hukum Islam.
"Ketika PB X memimpin justru dia makin memperkuat penerapan hukum Islam itu dengan pengadilan serambi. Termasuk didalamnya memutus persoalan pernikahan, mawaris, dan lainnya. Rujukan-rujukan kitabnya langsung dibawa para utusan termasuk dari Makkah," kata Kiai Muchtarom saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (21/8).
Hubungan ini terus terjalin baik dari Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), Sultan Mahmed V (1909-1918), Sultan Mahmed VI (1918-1922) dan Sultan Abdul Majid II (1922-1924). Bahkan pada masa ini semakin banyak pribumi yang belajar ke wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Utsmaniyah di Timur Tengah.
Syekh Ahmad Akhwan adalah salah satu ulama timur tengah yang mensyiarkan Islam di Masjid Agung Keraton Surakarta. Bahkan ia wafat dan dimakamkan di komplek Masjid Agung Keraton Surakarta. Namun demikian perlahan-lahan hubungan keraton Surakarta dan kesultanan Utsmaniyah mulai memudar seiring mendekati kemerdekaan. Terlebih setelah keraton memutuskan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia.
"Gapura Masjid Agung itu diganti PB sepuluh dengan desain gapura Turki Utsmani. Dan ini menunjukan betapa eratnya hubunga dengan Utsmaniyah. Bahkan beberapa tahun lalu para mahasiswa dari Turki pun terkagum-kagum karena tampak jelas arsitektur Utsmaniyah ada di Masjid Agung Keraton,"ujar dia.