REPUBLIKA.CO.ID, Ada tanda-tanda awal bahwa gerakan Intifada akan meletus di Palestina. Omar Ahmed, menyampaikan analisanya dengan menulis artikel yang dimuat di laman Middle East Monitor.
Menurut dia, awal tahun ini, juru bicara Brigade Al-Quds yang bermarkas di Gaza, sayap bersenjata dari faksi perlawanan Jihad Islam Palestina (PIJ), meminta warga Palestina untuk mengangkat senjata dan menyerang pos pemeriksaan militer dan permukiman ilegal di Tepi Barat.
Hal itu merupakan tanggapan terhadap "Kesepakatan Abad Ini" yang diusulkan oleh pemerintahan Trump. Kesepakatan ini ditolak secara mengejutkan oleh rakyat dan kepemimpinan Palestina.
Dengan mengabaikan suara-suara orang Palestina, maka akan memicu Intifada berikutnya. Mengingat pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017, yang kemudian mendorong Iran untuk mengonfirmasi bahwa langkah Trump itu berisiko memicu "Intifada baru".
Sebuah think-tank Iran, Dewan Strategis Hubungan Luar Negeri, awal pekan ini berpendapat bahwa karena Otoritas Palestina (PA) dan oposisi secara bulat melawan rencana perdamaian Trump, maka diperkirakan bahwa wilayah Pendudukan akan menjadi saksi di masa depan.
"Sebuah Intifada baru melawan rezim Zionis," katanya. Namun, Intifada ketiga akan melibatkan lebih banyak dukungan dari Iran ketimbang sebelumnya karena beberapa alasan.
Intifada pertama pada 1987 dimulai selama dekade pertama revolusi Islam. Iran terutama difokuskan pada ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh invasi Barat dan Irak yang didukung Teluk, yang mengarah ke perang delapan tahun yang menghancurkan.
Terlepas dari itu, Iran's Islamic Revolutionary Guards Corp (IRGC) masih berhasil menawarkan dukungan dan pelatihan kepada gerakan Hizbullah yang baru lahir di Lebanon, yang mewakili komunitas Syiah yang terpinggirkan di negara itu. Dan tentu saja merupakan fokus utama Iran pada saat itu, dalam konteks konflik Arab-Israel yang lebih luas.
Namun, solidaritas Iran terhadap perjuangan Palestina diabadikan tak lama setelah berdirinya Republik Islam pada 1979, dengan inisiatif Ayatollah Khomeini pada Hari Quds Internasional, yang jatuh pada hari Jumat terakhir bulan Ramadan.
Mantan sekretaris jenderal PIJ, Ramadan Shalah, telah menyatakan, "Hubungan kami dengan Iran sudah ada sejak hari-hari pertama gerakan kami, tepat setelah revolusi Islam mengambil alih di Iran."
Bahkan, berkaca pada perang Gaza selama 50 hari di Musim Panas 2014, Shalah juga mengklaim bahwa tanpa bantuan strategis dan efisien dari Iran, perlawanan dan kemenangan di Gaza tidak akan mungkin terjadi.
Dukungan Iran untuk perlawanan Palestina lebih menonjol setelah Intifada Kedua pada 2000, yang dikenal dengan sebutan Intifada Al-Aqsa, setelah perdana menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif dan dijaga ketat ke situs yang diperebutkan itu.
Menurut situs web Kementerian Luar Negeri Israel, keterlibatan langsung Iran di wilayah Palestina dapat ditelusuri dalam Intifada Kedua.
Saat itu ratusan warga Palestina yang terluka selama pemberontakan menerima perawatan medis di Iran. Selama dirawat di sana, beberapa dari mereka diberikan pelatihan intelijen atau menjalani pelatihan militer. Pasokan dan dukungan operasional yang diberikan untuk gerakan perlawanan merupakan keterlibatan tidak langsung Iran.
Dari semua gerakan perlawanan Palestina, PIJ adalah faksi terbesar kedua di Gaza setelah Hamas. Tetapi digambarkan sebagai militan yang memiliki ikatan ideologis yang lebih kuat dengan Iran. Meski demikian, pendanaannya dilaporkan secara sederhana dibandingkan dengan Hamas dan Hizbullah. Keberadaan PIJ juga sempat dibatasi pada 2015 karena tidak ada kesepakatan dalam mengutuk agresi militer Arab Saudi di Yaman terhadap pasukan pimpinan Houthi, yang merupakan bagian dari poros perlawanan Iran.
Hal itu menyebabkan Iran mengalihkan fokus pada kelompok sempalan PIJ, yang terdiri dari anggota PIJ yang mengadopsi Mazhab Syiah, dengan membentuk gerakan Al-Sabirin yang beroperasi di Gaza sejak 2014. Tentu saja, kelompok ini dengan sendirinya berselisih pada beberapa kesempatan dengan Hamas dan Sunni lainnya.
Gerakan Al-Sabirin dilaporkan telah mendirikan sel-sel di Tepi Barat dan Yerusalem. Namun demikian, PIJ terus mendapat keuntungan dari dukungan Iran hingga hari ini, dan terkenal sebagai salah satu dari sedikit kelompok Arab Sunni yang mendukung Iran selama peperangan dengan Irak.
Hamas, yang dianggap Iran sebagai bagian dari poros, telah menjalin hubungan di awal 1990-an dengan Teheran, menyusul pengakuan Organisasi Pembebasan Palestina atas Israel.
Kemenangan pemilihan Hamas pada 2006 di Jalur Gaza, yang saat ini masih diperintah Hamas, telah membantu mempercepat dukungan Iran, termasuk menyelamatkan Otoritas Palestina yang hampir bangkrut di Jalur tersebut, di samping bantuan militer dan pelatihan untuk sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam.
Konflik di Suriah menyebabkan ketegangan dalam hubungan antara Iran dan Hizbullah. Karena mereka mendukung pemerintah Suriah dan Hamas berpihak pada kelompok oposisi termasuk Jihadis Takfiri.
Hal ini menyebabkan kepemimpinan Hamas pindah dari Damaskus ke Qatar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah ada tanda-tanda rekonsiliasi antara Hamas dengan Hizbullah dan Iran, dan kemungkinan kembalinya hubungan mereka.
Di sisi lain, Qatar dihadapkan pada isolasi dan tekanan berkelanjutan dari tetangga Teluknya, dan keterlibatan Turki yang berisiko tinggi di Suriah dan Libya. Damaskus sangat penting untuk jalur pasokan dari Teheran ke Hizbullah, di Lebanon dan sekitarnya.
Upaya maju pemerintah Suriah yang berhasil dalam merebut kembali kedaulatan negara dari jihadis yang didukung asing dengan dukungan Rusia dan Iran, akan memastikan bahwa ini akan dipertahankan.